Hunters

10 5 2
                                    

"KAKAK, AWAS!!"

Hanya itu yang dapat didengar Darya sebelum tubuhnya seperti tertubruk sesuatu dan dijatuhkan ke samping dengan keras. Sebelah wajahnya bergesekan dengan tanah. Kelinci yang dipegangnya terjatuh. Terlempar tepatnya. Makhluk kecil itu berlari kabur setelahnya, meskipun tidak mampu berlari lurus.

"Ugh!"

Begitu mendengar suara itu, Darya langsung memaksa matanya terbuka dan bangkit dari jatuh, tanpa memerdulikan tubuh dan lengannya yang perih. "Denver! Astaga..."

Di hadapannya Denver tergeletak dengan posisi miring, menghadapnya. Erangannya pelan, bersamaan dengan cairan merah yang merembes di lengan bajunya, terlihat dari sela-sela jemari yang meremas bahunya sendiri. Kegesitan Denver menyelamatkan mereka dari luka tertancap anak panah, namun tetap saja, luka sobek sama buruknya. Apalagi untuk ditanggung seorang anak kecil. Darya menelusupkan tangan di bawah badan adiknya dan segera membantunya duduk. Untuk sesaat pemuda bersurai hitam itu kalut.

"Denver... Denver, kemarilah, tidak apa-apa. Tenang, Adikku... Tenang..." ia menangkup kedua sisi wajah adiknya yang kotor. Hatinya merasa bersalah melihat adiknya kesakitan. Beberapa kali isakan lolos dari anak laki-laki berambut merah itu. "Denver, tarik napas, tenangkan dirimu,"pintanya.

Perlu beberapa saat agar si bungsu tenang dalam rangkulannya. Setelah dirasanya cukup tenang, Darya melepas cengkraman tangan Denver dari bahu, menarik pisau lipat dari ikat pinggang adiknya dan memotong lengan bajunya sendiri. Tak mungkin ia menggunakan kain bekas kelinci untuk menghentikan pendarahan.

"Ugh..."
"Sudah, sudah... aku sudah menghentikan pendarahannya, Denver Tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja."

Denver mengangkat kepala untuk melihat wajah Darya, yang tersenyum padanya. Semua akan baik-baik saja, kakaknya sudah berujar kan? Senyum itu merekah,meskipun tidak sepeuhnya tulus, rasanya Denver sedikit lebih tenang. Ia cepat-cepat mengusap wajahnya yang terbasahi sedikit oleh air mata, yang kini justru membuat mukanya coreng moreng dengan tanah.

"Ayo, bantu aku sedikit, Denver," pinta Darya sembari menopangnya untuk berdiri. "Kita besihkan lukamu. Tolong, Denver, berjalanlah."

Denver menurut. Ia menahan tangannya sedikit lebih tinggi, sesuai dengan yang dikatakan Darya. Darya menuntunnya, menghindari jebakan-jebakan lain, yang ternyata memang dipasang di dekat sumber air. Ditempatkannya Denver di tempat yang sekiranya aman, kemudian di basuh lukanya. "Kejam sekali. Mereka mengincar hewan-hewan yang ingin minum. DIbiarkannya mereka sekarat, dan akan diambil nanti, seperti menunggu buah jatuh dari pohon," geram Darya. "Pasti pemburu luar. Apa mereka tidak berpikir jebakan ini bisa saja mengenai manusia?"

"Yang tadi..."
"Denver?"
"Itu tidak seharusnya terjadi..."
"Aku tahu. Aku... Aku sungguh menyes-"
"Bukan itu."

Darya menatap kedua mata Denver yang berkaca-kaca. "Mereka... mereka tidak seharusnya memasang perangkap seperti ini... Kelinci itu tersiksa, kan? H-harusnya kalau mereka memang ingin memakannya, habisi saja langsung! Jangan membuatnya-hiks- kesakitan dan ketakutan! S-sekarang ia...," Denver menundukkan kepalanya lagi.

Bahkan Denver pun mengetahuinya. Kelinci yang mengalami syok akan tewas. Dengan pelan dan pedih. Frustrasi dan kesakitan.

Bila memang hewan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia selayaknya tumbuhan, tidak pantas membiarkan mereka tersiksa dan mati perlahan. Satu tembakan mematikan, tanpa rasa sakit sedikitpun.

"Mungkin mereka bukan dari suku kita, Denver," jawab Darya sembari membalut luka Denver. "Bisa jadi mereka memiliki pandangan yang berbeda. Aku tahu, Denver, memang menakutkan bagaimana orang bisa berpikir makhluk lain tidak merasakan sakit seperti kita," ia mengusap wajah Denver dengan tangannya yang sudah kembali dibasahi, "hanya karena hewan dan tumbuhan tidak menangis ketika mereka terluka."

Aegis of the ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang