Sejak aku lahir, kehidupan Tenalach selalu seperti ini.
Tersembunyi di bawah kanopi hutan yang belum pernah kulihat sampai mana ujungnya, di tengah hunian sederhana yang menjaga tanah keramat. Bagian dari hutan yang terbentang luas, dianggap menyimpan kekuatan yang tidak boleh jatuh kepada tangan-tangan yang salah.
Meskipun aku belum pernah melihat kekuatan macam apa yang membuat tanah ini begitu penting. Setidaknya, belum membuatku terperangah atau semacamnya. Pohon-pohon ini tak dapat berbicara, begitu pula mereka tak dapat membela diri dari kapak atau api yang menumbangkan mereka.
Tapi dalam keadaanku yang sudah bersamaku sejak lahir, apa lagi yang akan mengejutkanku? Mereka sudah banyak memberitahuku banyak hal, yang bahkan belum diajarkan oleh kedua orangtuaku.
Kecuali Kakek Tetua pertama, Favian pertama yang usianya cukup mengejutkanku hingga ini. Satu abad ditambah beberapa dekade, hampir dua abad. Tapi apakah kekuatan dari hutan ini yang menjaganya tetap hidup?
(Favian adalah para pemimpin yang mengabdi untuk membimbing kehidupan kami para penghuni. Ia yang dirasa memiliki kebijaksaan dan kecerdasan untuk memimpin kami, akan dirundingkan dan dipilih setiap beberapa dekade sekali. Masa pengabdian, 10 tahun. Sekarang merupakan tahun ke-3 dari Favian ke-6)
Kata beberapa peregrine yang telah menjelajah keluar, hutan ini tidak pernah dihujani kristal-kristal putih dingin. Tidak pernah pula gugur daun-daunnya. Tanah hunian paling subur di antara yang pernah mereka lihat ketika mereka menyambangi peradaban lain.
(Peregrine, penjelajah, penyalur. Posisi kedua yang sudah lama ada setelah keberadaan Favian. Mereka adalah penjelajah dari hunian yang ditugaskan untuk berpetualang. Ya, berpetualang! Dari kisah-kisah mereka, semua terdengar seru. Memang peregrine tidak sekedar penjelajah belaka. Mereka menjadi penyalur antara kami dan dunia luar. Setidaknya, aku takkan mungkin mengenakan pakaian seperti ini atau dapat menulis di atas kertas begini, kalau penduduk tetap terisolasi di hutan. Hanya saja Ibu mewanti-wanti agar aku tidak menjadi peregrine. Kondisiku amat lemah, ke luar hunian sedikit saja kadang aku sudah lelah.)
Para Caspar mengatakan lain lagi. Katanya kami yang berada di sini sangat beruntung karena sumber air jernih, sungai, yang selalu mengalir di sekitar hunian kami. Rasanya juga tidak asin. Rasa-rasanya dalam hunian, kami takkan pernah merasakan yang namanya dahaga.
(Caspar, orang-orang dipercaya untuk satu tugas penting. Mengumpulkan 'emas putih'. Yang dimaksud tentu saja adalah garam. Untuk apa mengumpulkan emas murni untuk kehidupan hutan, kan? Sementara garam sangat sanga berperngaruh dalam kehidupan SETIAP anggota hunian. Garam layaknya emas. Berharga, bahkan lebih.)
Mendiang Aegis keempat pernah bercerita pada kami anak-anak. Betapa beruntungnya kami lahir terlindungi di tanah keramat ini. Dunia di luar sana, kisahnya, anak-anak sangat malang nasibnya. Kehilangan dan lapar karena perang yang selalu saja terjadi dengan berbagai dalih dan entah kapan berakhirnya. Tidak bisa apa-apa di bawah penguasa tanah yang kadang tak memikirkan nasib mereka perorangan. Prajurit dan masyarakat hanya bidak dan budak, bukan keluarga.
Tapi memang, pada dasarnya, bahkan hutan pun tak aman dari sifat manusia yang suka mencari gara-gara.
(Ah, Aegis. Mungkin posisinya memang berada di bawah kepemimpinan Favian, tapi dialah yang pertama kali ada dalam sejarah Tenalach. Mendiang Aegis pertama kami dibesarkan oleh alam. Ia sudah ada di sana bahkan sebelum Kakek Favian pertama muncul. Pelindung hunian dan sekitarnya. Pemimpin dalam pertahanan. Selayaknya Favian, orang yang dinilai memiliki kemampuan bertarung dan dedikasi tinggi dalam mempertahankan hunian akan dipilih setiap dekade. Selayaknya Peregrine, sepak terjang mereka juga menjadi kumpulan kisah yang kami, anak-anak hunian, selalu antusian untuk mendengarnya. Adikku, Denver, juga begitu ingin menjadi Aegis. Seperti anak laki-laki yang lain, kecuali aku.)
Dan setiap aku mendengarkan semuanya, selalu saja ada yang mengiyakan. Aku memercayainya. Tentu saja aku memercayainya, aku selalu mencatat kisah-kisah mereka dalam lembaran-lembaran kertas. Bahkan aku hapal sekarang, seperti halnya aku hapal dengan pengetahuan yang kudapat dalam lingkungan hunian.
Sebuah kehormatan. Namun anggapan-anggapan mengenai aku menjadi Favian selanjutnya, itu membuatku terganggu. Aku hanya suka menuliskan pengetahuan yang kudapatkan. Seharusnya tak menjadi alasan yang membuat mereka beranggapan bahwa aku cocok menjadi seorang pemimpin.
Termasuk beliau. Beliau juga selalu mengatakan aku harus menjadi Favian selanjutnya.
Di sisi lain, ketika beliau mengalihkan pandangan kepada adik tiriku yang kini sedang terlelap di pangkuanku, beliau berbisik padaku sebelum beranjak pergi.
Adikku takkan mampu menjadi seorang Aegis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis of the Forest
FantasySuku yang subur, magis, dalam tanahnya mengakar pusat kekuatan alam yang masih misterius. Siapa yang tidak menginginkan? Tidak semua manusia menghargai kedamaian. Tidak semua manusia mau diajak berbagi. Mungkin mengejutkan, tapi menguasai dan menjaj...