BAGIAN 12 - JATUH CINTA SENDIRIAN

3.1K 264 0
                                    

Amira benar-benar masih mencerna perkataan Ali yang diucapkan kemarin malam. Bagaimana bisa ia harus  datang ke acara pertunangan seseorang  yang bertahun-tahun telah ia cintai dalam diam. Apakah mencintai dalam diam itu sesulit ini? lantas, mengapa ia masih bertahan dan tidak menghapus Ali dalam daftar orang yang dicintainya? Benar-benar saat ini Amira bagaikan nun mati ketika bertemu dengan huruf idgham bilaghunnah. Terlihat tapi tak dianggap ada.

"Woyy, Raaaa!" teriak Dinda membuyarkan lamunan Amira yang sedang duduk di kursi ruang tamu rumah Bu Devi. 

"Dinda ihh ngagetin!" 

"Ya habisnya kamu sih pakek ngelamun," sahut Dinda sembari duduk di samping Amira.

"Ngelamunin apa sih?" tanya Dinda yang penasaran dengan sahabatnya yang melamun pagi-pagi buta seperti ini di ruang tamu.

"Ngelamunin kamu," jawab Amira seraya memasang senyum pepsodent di hadapan Dinda dan mencubit pipi Dinda dengan gemas.

"Apa sih Ra, nggak lucu. Ditanya serius jawabnya serius dong!" sahut Dinda yang sebal karena Amira mengalihkan pembicaraan dan tak mau cerita apa yang dirasakannya. Sejak berteman dengan Amira, Dinda tak sering mendengar curhatan Amira. Sebaliknya, malah Dindalah yang sering sekali curhat masalahnya ke Amira.

"Jangan marah dong, nanti muka kamu nggak cantik lagi," rayu Amira saat Dinda mengabaikannya dengan bermain ponsel dan diam seribu bahasa dihadapannya.

"Oke... Oke nanti malam kita cerita-cerita bareng," bujuk Amira lagi namun Dinda masih mengabaikannya. Dinda memang seperti anak kecil. Selalu mempermasalahkan hal seperti ini.

"Din!"

"Din!"

"Yaudah oke, awas kalau nggak nepatin janji!" ucap Dinda yang akhirnya luluh dengan bujukkan Amira.

"Nah, gitu dong."

"Ra," panggil Jefri tiba-tiba yang berjalan menghampiri Amira dan Dinda yang duduk di kursi ruang tamu. Amira menoleh dan diikuti Dinda yang menoleh juga ke arah Jefri. 

"Ada apa Jef?" 

"Bu Devi pagi tadi harus pergi untuk mengunjungi saudaranya. Jadi Bu Devi berpesan bahwa ia tidak bisa menyiapkan sarapan untuk kita semua." tutur Jefri menyampaikan pesan dari Bu Devi. 

Amira tersenyum. Ia beranjak dari duduknya untuk berdiri, " Tak apa Jef, aku bisa bantu berbelanja kebutuhan memasak dan nantinya yang masak Dinda. Dinda kan pintar memasak. Ya kan Din?"

Dinda tersenyum simpul sembari membentuk jarinya menjadi lingkaran seperti kode 'OK', "Siap Bu Eko!" Amira terkekeh melihat tingkah Dinda. 

"Ya sudah aku siap-siap berangkat ke pasar yah," Amira berjalan meninggalkan Jefri dan Dinda yang masih di ruang tamu. Ia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil sling bag-nya. 

"Aku berangkat dulu, Assalamualaikum!" pamitnya pada Dinda dan Jefri.

Amira berjalan keluar rumah hanya menggunakan gamis panjang rumahan berwarna abu-abu dan khimar sejuta umat yaitu warna hitam. Dilengkapi sling bag yang melingkar di pundak kirinya. Make up? Ah, gadis itu tidak terlalu menyukai fasion dan make up. Mungkin wajahnya hanya dipolesi pelembab dan bedak bayi saja. 

"Mau kemana?" Amira menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya. Dan benar. Pendengarannya tidak salah. Ali yang tengah memanggilnya. Amira membalikkan tubuhnya menghadap Ali. Mengapa saat berhadapan dengan Ali lidahnya tiba-tiba terasa kelu.

"Be-belanja ke-butuhan memasak karena Bu Devi, Bu Devi ti-tidak di ru-rumah." ucapnya terbata-bata pada Ali. Matanya tak menatap langsung mata Ali. Oh tidak, saat ini jantung Amira tidak beraturan lagi. Tapi ia bisa apa? Ia hanya dapat mencintainya dalam diam. Ali saja tak tahu akan perasaannya. Ah sudahlah, Amiraaa!

AMIRA AZZAHRA  [RE-PUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang