"Bapak tahu kamu sedang butuh biaya untuk ujian kan, Nduk?" tanya Pak Mamat.
Aku mendongak dan kedua alis bertaut. Dari mana beliau tahu soal ini? Siapa yang memberitahunya?
"Kamu pasti heran ya, kenapa Bapak bisa tahu?" Pak Mamat tersenyum ke arahku.
Aku pun mengangguk.
"Beberapa hari yang lalu, Bapak sempat dengar emakmu bilang sama buruh lain. Mau pinjam uang buat bayar ujian kamu, Nduk." Pak Mamat menatapku lekat.
Aku menunduk, tak berani membalas tatapan Pak Mamat. Kemudian tampak Pak Mamat mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah amplop putih, agak tebal. Apa itu?
"Ini, ada sedikit rezeki, siapa tahu bisa untuk melunasi biaya ujian kamu, Nduk," ucap Pak Mamat sambil menyerahkan amplop padaku.
Aku mendongak dengan mata membulat sempurna. Kenapa Pak Mamat memberiku uang? Tidak, aku tidak boleh langsung menerimanya.
"Terima, Nduk." Pak Mamat mengenggamkan amplop pada tanganku.
"Ta-tapi, Pak. Kira, ndak bisa menerimanya." Aku menyerahkan kembali pada Pak Mamat.
"Kenapa? Oh takut kalau disuruh nikah sama Bapak?" Pak Mamat terkekeh lalu menatap Bayung.
Mereka berdua langsung terbahak.
"Bapak ndak mungkin menikahimu, Ra. Lebih pantas jadi bapakmu. Kalau aku yang menikahimu itu pantas."
Pipiku langsung terasa panas, mungkin sudah berubah menjadi merah sekarang. Duh Bayung, kenapa kamu menggodaku?
"Sudah-sudah. Terima ya, Nduk. Semua demi masa depanmu. Kamu ini anak yang pintar dan cerdas, jadi sayang kalau harus terputus di tengah jalan." Pak Mamat meyakinkanku.
Karena didesak dan diyakinkan bahwa ini memang murni sebuah pertolongan. Akhirnya aku pun menerimanya. Terimakasih, ya Allah, ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Tak semua orang kaya itu pelit.
Aku mencium tangan Pak Mamat. Beliau memintaku untuk membawa nama baik desa. Nilai UN harus tertinggi, kalau bisa satu wilayah kabupaten.
Setelah dirasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku pun pamit pulang. Hanya bekerja setengah hari saja, karena emak sedang sakit.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa. Ingin segera sampai rumah. Khawatir dengan kondisi emak.
Sampai di rumah, segera masuk ke kamar emak. Hatiku berdebar ketika membuka kelambu tak ada emak di atas dipan. Kemana emak?
"Kira, sudah pulang?" Emak tiba-tiba sudah ada di belakangku.
"Loh, Emak sudah sehat?" tanyaku sambil berbalik menatap Emak.
"Alhamdulillah, setelah minum obat, kepala Emak sudah ndak begitu pusing," ucap Emak sambil duduk di dipan.
Kedua alisku bertaut. Minum obat? Apa emak sudah berobat? Sedang emak tersenyum melihat kebingunganku.
"Tadi anak Pak Mamat ke sini, mencari kamu. Karena melihat Emak sedang sakit, akhirnya mengantar berobat. Emak menolak, tapi dipaksa," jelas Emak.
Anak Pak Mamat? Apa Bayung maksudnya? Lalu kenapa dia mencariku? Lagi-lagi alisku bertaut. Ada desiran aneh ketika mendengar nama Bayung disebut.
"Duh, gadis Emak. Kenapa pipinya jadi merah merona begini?" Emak menjawil pipiku.
Aku mengulum senyum, lalu menunduk.
"Apa sih, Mak. Udah ah, Kira mau mandi dulu, capek," ucapku kemudian melangkah keluar dari kamar Emak.
Ketika sampai di depan pintu. Aku teringat uang pemberian dari Pak Mamat tadi, kemudian berbalik arah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Mimpi
General FictionPerjuangan seorang gadis desa untuk mencapai cita-citanya. Aku Kirania, seorang gadis desa yang ingin berjuang memajukan desa. Namun, perjuanganku penuh lika liku, bapak tidak pernah setuju anak gadisnya memiliki cita-cita yang tinggi. Bapak hanya...