Bagian 3

458 15 0
                                    

“Mau kemana kamu?” tanya Bapak tiba-tiba.

Seketika terlonjak kaget, padahal sudah sangat hati-hati melangkah supaya tidak ketahuan bapak.

“Anu, Pak. Kira mau sekolah. Sudah beberapa hari ndak masuk.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Masuk kamar! Ganti baju!”

Aku menggeleng, bapak menyeret dengan paksa. Mendorongku masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu dari luar.

Aku menggedor-gedor pintu, berteriak pada bapak.

“Buka pintunya, Pak! Kira mau sekolah, Kira pengen jadi orang sukses!” Aku terus menggedor pintu.

Sampai suara serak, bapak tak juga membuka pintu. Kemana emak? Kenapa tidak membukakan pintu?

“Emak! Tolong Kira! Emak! Buka pintunya! Kira hanya mau sekolah ….”

Pupus sudah harapanku, masa depan benar-benar suram. Mata mulai terasa panas dan tanpa sadar bulir-bulir bening merembes keluar dari sudut mata, aku terduduk lemas di lantai. Berharap ada ibu peri datang menyelamatkan. Namun, itu semua mustahil, ibu peri hanya ada di dalam dongeng saja.

‘Krek’ terdengar pintu dibuka, aku langsung menoleh. Mataku berbinar melihat siapa yang datang.

“Emak!”

Emak mengisyaratkan aku agar diam, kemudian menyuruhku pergi sekolah. Bapak sudah berangkat ke sawah. Mendengarnya aku langsung berbinar. Aku segera berlari keluar rumah.

Dalam perjalanan, aku membisu. Pikiran melayang kemana-mana. Berjalan dengan langkah gontai dan terseok-seok, teringat perkataan bapak semalam.

“Pokoknya kamu harus menikah dengan Pak Burhan!”

“Ndak mau! Kira mau sekolah, ndak mau nikah muda! Kira masih kecil, Pak.”

“Kamu berani membantah Bapak? Semua demi kebaikan dan masa depan kamu, Kira.”

“Bukan demi masa depan Kira, tapi demi keegoisan Bapak!”

“Jaga mulut kamu, Kira! Aku ini Bapakmu!”

“Bapak tapi ndak pernah mengerti keinginan anaknya kan? Hanya mementingkan keinginan sendiri! Kira tahu kenapa ngotot menjodohkan dengan Pak Burhan, karena iming-iming harta kan?”

“Diam! Tuduhanmu salah!”

“Kira benar, Bapak memang egois!”

Bagaimana mungkin aku menerima perjodohan dengan orang yang lebih pantas menjadi bapakku? Apalagi dia sudah beristri, bahkan menurut para tetangga istrinya ada di mana-mana. Kenapa bapak tega sekali? Ah … aku benci bapak!

Pak Burhan adalah orang paling kaya di desa. Sebagian besar sawah yang ada di desaku, milik Pak Burhan. Para warga hanya menggarapnya saja, bagi hasil dengan sang pemilik sawah. Termasuk bapak. Aku yakin bapak pasti ada perjanjian dengan orang tua yang mesum itu. Kenapa aku bilang mesum? Iya karena dia masih suka menggoda perawan-perawan kencur di desa. Termasuk aku salah satunya, karena itu sangat jijik ketika melihatnya bertamu ke rumah.

“Hei!” Riri menepuk pundakku.

“Riri, bikin kaget aja.”

“Makanya jangan melamun. Dipanggil dari tadi ndak denger.” Riri terkekeh.

Aku bergeming, pandangan fokus ke depan. Kami pun berjalan tanpa suara, menikmati suasana jalanan desa yang sepi, hanya ada satu dua motor yang melaju. Aku menghirup udara pagi yang segar.

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang