Bagian 5

322 13 0
                                    

Ketika tersadar, aku sudah berada di dalam sebuah gedung tua yang tak begitu luas dan banyak sarang laba-laba di setiap sudut ruangan serta tembok yang penuh lumut. Sebuah bangunan sekolah yang tak terpakai. Sepertinya ini gedung sekolah TK yang sudah lama tak digunakan, yang berada di ujung desa.

Tangan terasa begitu sakit dan nyeri, ternyata aku terduduk dengan tangan diikat ke belakang di sebuah tiang. Mulut ditempel dengan plester. Aku meronta-ronta hendak melepas ikatan, tapi tak bisa karena terlalu kuat. Oh Allah … selamatkanlah hamba. Siapa yang tega membawa ke tempat asing ini? Bagaimana mungkin bapak bisa menemukanku di sini? Tak pernah ada orang yang berani pergi ke bangunan tua ini. Aku bergidik ngeri, teringat kata-kata warga bahwa ada makhluk halus yang menjadi penunggu bangunan tua. Suasana semakin sunyi, hanya terdengar suara jangkrik saja. Seluruh tubuh rasanya mengejang, darah berdesir. Napas terasa sesak.

Terdengar suara pintu berderit karena didorong dari luar kemudian derapan langkah kaki menuju ke arahku. Suaranya menusuk dari ulu hati kemudian menembus ke punggung. Aku berpura-pura masih pingsan.

“Hei! Bangun! Jangan pura-pura tidur, Cah Ayu,” ucap seseorang.

Aku tetap bergeming, suaranya sangat familiar. Suara laki-laki tua itu. Keringat dingin semakin bercucuran dari seluruh tubuh. Aku menggigil menahan rasa takut. Keringat semakin berkumpul di telapak tangan ketika laki-laki tua itu terdengar semakin mendekat dan memegang pipiku.

“Cah Ayu, buka matamu, jangan membuatku bertindak nekad, atau kamu mau pisau ini menggores pipimu yang halus?” tanya pria tua dengan terkekeh.

Perlahan membuka mata, detak jantungku bekerja lebih cepat, khawatir jika dia benar-benar menggoreskan pisau ke pipi. Terdengar suara tawanya menggelegar. Pupil mataku membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang ada di depan mata.

Dahiku berkerut, ternyata benar pria tua itu Pak Burhan.

Pak Burhan terbahak, lalu mendekat. Wajahnya semakin dekat, hembusan napasnya menerpa wajahku. Menjijikkan sekali pria tua ini! Aku memalingkan wajah ke sebelah kanan. Dada berdebar dan jantung berdegup lebih kencang. Apa yang hendak pria tua ini lakukan? Allah … aku tak ingin mati sia-sia. Impian dan cita-cita serta masa depan masih panjang. Jangan-jangan dia hendak mengambil keperawananku. Tidak! Tanpa berpikir panjang aku mengayunkan kaki kanan dengan keras tepat ke selangkangannya. Dia tampak meringis menahan sakit.

“Dasar gadis desa tak tahu aturan! Berani menendangku!” Mata Pak burhan melotot tajam ke arahku.

Nyaliku menciut, tubuhku bergetar hebat,

khawatir dia akan berbuat nekad. Aku hanya bisa berdoa semoga ada keajaiban atau Ibu Peri datang ke sini. Ah kebanyakan membaca dongeng, begini jadinya.

Pak Burhan melepas plester yang menempel di mulutku dengan kencang. Tangannya yang kasar mengusap pipi, lalu perlahan turun ke bibir. Tubuh gemetar tak karuan, menahan rasa takut. Wajahnya semakin dekat dan tinggal sejengkal lagi bibirnya menempel ke bibirku, dengan sigap memalingkan wajah. Pak Burhan semakin beringas. Memegang kepala dan melumat bibirku dengan paksa. Aku mengayunkan kaki dengan sekuat tenaga ke selangkangannya. Dia mengaduh. Aku berteriak histeris, jijik dengan diri sendiri.

“Tolong! Tolong!” teriakku.

“Hahaha! Berteriaklah sampai suaramu habis! Tak akan ada yang mendengarmu, gadis bodoh!”

“Tolong lepaskan Kira, Pak, jangan sakiti Kira.” Aku memohon pada Pak Burhan.

“Aku akan melepaskanmu, asal mau berjanji menikah denganku,” ucap Pak Burhan.

“Ndak! Bapak lebih pantas jadi orang tuaku! Istrimu ada di mana-mana, kenapa masih mencari lagi!” teriakku.

‘Plak’ Pak Burhan menampar pipiku. Mata terasa panas, pandangan mulai kabur karena ditutupi bulir-bulir bening yang hendak melompat keluar dari sudut mata. Hati pun terasa perih.

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang