Bagian 4

366 11 0
                                    

Sejak perbincangan dengan bapak malam itu, aku semakin membangkang. Tak pernah menuruti kemauannya.  Tetap pergi ke sekolah, meskipun telah dilarang. Bapak egois, aku pun bisa lebih egois. Semua demi masa depan. Aku ingin menjadi orang sukses, tak peduli dengan rintangan apapun.

Di sekolah, aku semakin rajin dan fokus untuk belajar. Tak pernah sedikitpun melewatkan waktu yang begitu berharga. Lebih serius ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar. Aku ingin membuktikan pada bapak bahwa pendidikan itu penting dan berguna bagi masa depan, bukan hanya harta saja yang diperlukan dalam hidup.

Ujian akhir semakin dekat, aku lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar. Tak peduli lagi dengan omongan bapak. Bahkan soal perjodohan dengan pria tua itu, aku tak menanggapinya. Yang paling penting harus mengejar target meraih nilai tertinggi saat UNAS, supaya bisa masuk ke SMA favorit di kota. Masalah bapak mengizinkan atau tidak itu urusan belakang.

“Kira!” panggil Bapak.

Aku tak menyahut panggilan bapak, tetap fokus membaca buku pelajaran. Besok hari terakhir ujian.

“Kira! Sini! Bapak mau bicara! Apa kamu tuli?”

Aku tetap bergeming, lalu terdengar suara pintu didobrak. Terlihat sorot mata bapak menunjukkan kemarahan, rahangnya mengeras, kemudian menyeretku dengan kasar keluar kamar.

“Ampun, Pak,” ucapku.

Bapak tak menghiraukan teriakanku, terus menyeret hingga sampai di halaman belakang rumah. Hari sudah gelap, bulan terlihat malu-malu keluar dari persembunyiannya, bahkan bintang pun enggan menampakkan dirinya.

“Makanya kalau Bapak panggil itu jawab!” Mata Bapak melotot.

“Ma-maaf, Pak … tadi Kira sedang belajar. Besok hari terakhir UNAS.” Aku tak berani memandang wajah bapak.

“Bapak hanya memberimu izin sampai ujian aja.  Setelah itu berhenti, ndak usah lanjut ke SMA!”

“Ta-tapi, Kira pingin sekolah SMA, Pak. Ingin jadi orang sukses ….”

“Bapak bilang ndak, ya ndak! Apa kamu ndak dengar! Kamu itu harus nikah sama Pak Burhan, dia kemarin siang kesini menagih janji untuk segera melangsungkan pernikahan!”

“Ya sudah, Bapak aja yang nikah sama dia. Kira ndak mau, Kira cuma mau sekolah bukan nikah!”

“Kamu benar-benar anak durhaka!” Bapak menampar pipiku.

“Tampar, Pak, ayo, tampar lagi! Kalau itu bikin Bapak puas!”

Tampak tangan bapak mengepal menahan amarah, tapi aku tak peduli. Teringat kata guruku, orang tua memang harus dihormati asal untuk kebaikan. Namun, jika tidak untuk kebaikan maka tidak apa-apa melawannya.

“Pak, Kira ndak mau nikah muda, lebih baik Bapak bunuh saja daripada disiksa seperti ini. Lebih baik mati daripada nikah muda.” Mata sudah sangat panas, tanpa sadar bulir-bulir bening jatuh menetes dari sudut mata. Aku menyekanya dengan kasar.

Tampak wajah bapak penuh penyesalan. Lalu bapak memeluk dan mengusap kepalaku dengan lembut.

“Maafkan Bapak, Nduk. Semua ini demi kebaikan dan masa depanmu,” ucap Bapak.

Aku mengurai pelukan, lalu mendongak menatap bapak. Tampak matanya berkaca-kaca.

“Kalau yang Bapak lakukan ini demi kebaikan Kira, itu salah. Kira ndak bisa bahagia kalau harus menikah muda. Kira ndak mau, jangan pernah paksa Kira menikah,” ucapku.

Mata bapak terlihat semakin berkaca-kaca, kemudian memelukku dengan erat.

“Maafkan Bapak, Nduk. Maaf … Bapak telah egois. Mulai sekarang Bapak janji akan mengizinkanmu sekolah, meraih mimpi dan cita-cita, Nduk.”

Aku semakin mengeratkan pelukan. Bapak begitu baik, tak menyangka bisa luluh begitu saja. Bapak memang orang yang keras, tapi tak pernah bisa melihat anaknya bersedih atau menangis. Apalagi memohon seperti ini.

“Matur suwon, Pak. Kira janji akan sungguh-sungguh dalam belajar, menjadi anak yang pintar dan membanggakan Bapak,” ucapku.

Bapak mencium pucuk kepalaku. Aku mendongak ketika merasa ada cairan bening yang menetes di kepala. Baru pertama kali melihat bapak meneteskan air mata.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi berdebat dengan bapak. Tak perlu lagi pergi dengan sembunyi-sembunyi. Masalah dengan Pak Burhan akan segera bapak selesaikan. Bapak rela kehilangan sawahnya demi aku. Orang tua memang ingin yang terbaik untuk anaknya, walau terkadang caranya yang salah. Memaksakan kehendak serta haknya sebagai orang tua, tanpa meminta pendapat anaknya.

***

Pagi ini aku bersemangat pergi ke sekolah karena merupakan hari yang kutunggu selama tiga tahun. Pengumuman kelulusan. Meskipun sedikit deg-degan, tapi aku tidak gugup. Aku melihat wajah teman-teman hampir semuanya tampak tegang, mungkin khawatir tidak akan lulus.

Kami semua berkumpul di ruang kelas dengan harap-harap cemas menanti berita kelulusan. Pak Yono sebagai kepala sekolah mulai membagikan sebuah amplop putih, beliau mengintruksikan supaya membuka secara bersama-sama. Aku membuka dengan perlahan, ketika membaca tulisan ‘lulus’ aku bersorak riang kemudian melakukan sujud syukur. Hati rasanya berbunga-bunga, apalagi mendengar berita dari Pak Yono bahwa nilai NEMku tertinggi.  Teman-teman juga berteriak histeris, kami lulus 100%. Kami hanya berjumlah 50 orang saja, jadi sangat senang ketika bisa lulus semua.

Aku tersenyum puas. Tinggal memikirkan ke SMA mana akan melanjutkan pendidikan. Tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan. Teman-teman saling bercerita hendak melanjutkan ke sekolah mana. Sebagian ingin bersekolah di SMA Pgri sini, sebagian lagi ingin melanjutkan sekolah ke kota. Sedangkan aku, entahlah masih bingung. Harus berdiskusi dengan bapak dan emak, sekolah tak hanya untuk bersenang-senang atau hanya sekadar gaya-gayaan. Karena aku bukanlah anak orang kaya.

Setelah selesai pengumuman kelulusan, aku pun berjalan pulang. Melangkah melewati jalanan desa yang lumayan sepi, karena hari masih agak pagi jadi para warga masih di sawah. Tanpa rasa takut sedikitpun aku berjalan dengan tergesa, ingin segera sampai rumah dan memberitahu kabar gembira ini.

Ketika melewati sebuah jalanan yang kiri kanannya hanya pohon bambu, aku merasa seperti ada yang mengikuti. Berhenti sejenak dan menoleh ke belakang serta ke sekeliling, tak ada siapa pun juga. Aku pun melanjutkan langkah, tanpa berpikir negatif. Tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang membekap mulutku. Hendak berteriak tak bisa karena tangan kanannya yang kekar, menutup mulut dengan sempurna. Tangan kirinya memegang tubuhku dengan sangat kuat. Aku meronta-ronta, mencoba melepaskan diri tapi tak bisa.

Tubuh menggigil, keringat dingin keluar dari dahi. Aku mencoba menoleh ke belakang, ingin tahu siapa orang yang menyergap ini. Namun orang ini menutup wajahnya dengan masker. Oh Allah ... tolonglah hambamu ini. Aku tak mau mati konyol di tangan orang ini. Sial! Kenapa aku harus pulang sendiri, tak menunggu Riri.

Tubuhku terus diseret dengan paksa. Suaranya seperti tidak asing lagi di telingaku. Siapa orang ini? Kenapa tega hendak menculikku? Apa yang diharapkannya? Aku bukan anak orang kaya, hanya seorang anak dari petani kecil.

Aku mencoba menendang selangkangannya, tapi dia berhasil mengelak. Justru dia memukul tengkukku. Pandangan terasa mulai kabur dan berkunang-kunang, kemudian semakin gelap dan tak ingat apa-apa lagi.

****

Bersambung….

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang