Hidup memang penuh lika-liku. Kadang kita berada di atas, ada kalanya ada di bawah. Seperti halnya Pak Burhan, dia selalu dipuja oleh semua orang. Juragan terkaya di desa, meskipun sombong warga segan padanya, mungkin lebih tepatnya takut. Namun, itu dulu sekali, setelah melakukan pembunuhan terhadap almarhum bapak. Kedoknya terbongkar, dia tidak lagi disegani para tetangga. Selain sombong, dia juga punya banyak istri simpanan.
Begitulah hidup. Perjuanganku belum berakhir sampai di sini. Sejak kepergian bapak tiga bulan lalu, aku mulai bekerja membantu emak. Apa saja dilakukan asal bisa menghasilkan uang. Ikut memetik buah kopi, kadang menjumput daun cengkeh. Siapa tahu bisa untuk biaya masuk sekolah.
Impianku tetap sama, ingin menjadi orang sukses. Menempuh pendidikan yang tinggi. Tak peduli dengan rintangan yang ada. Teringat selalu akan penggalan ayat dalam surat yasin ‘kun fa yaakun’, jadilah maka akan terjadi. Jika Allah menghendaki pasti akan terjadi. Yang penting tidak lupa untuk berusaha.
Akhirnya aku memutuskan untuk bersekolah di SMA PGRI di desa. Selain biaya yang terjangkau, juga kasihan emak kalau harus ditinggal sendirian. Sekolah di mana saja sama, asal kita bersungguh-sungguh dalam menjalaninya. Sekolah di sekolah favorit pun percuma, jika hanya sekadar untuk bermain-main.
Di sekolah yang baru, aku memiliki banyak teman dari kampung yang berbeda. Tidak banyak yang bersekolah di sini. Hanya orang-orang dari kalangan bawah saja. Hari-hari kulalui dengan semangat tanpa mengeluh. Pagi berangkat sekolah, siangnya membantu emak.
Tanpa terasa hari berganti bulan, bulan pun berubah menjadi tahun. Tanpa terasa aku sudah duduk di kelas XII. Tinggal setahun lagi sudah lulus dari sekolah. Selama tiga tahun aku tak pernah pusing memikirkan biaya bulanan, karena memang rapor selalu mendapat nilai tertinggi. Selalu menjadi juara umum. Sehingga pihak sekolah dengan senang hati memberikan beasiswa. Allah memang selalu memberikan kelebihan dari setiap kekurangan. Hidup dengan keadaan ekonomi yang serba terbatas, tetapi Allah memberikan kelebihan otak yang cerdas. Jika kita selalu bilang hidup tak adil, itu salah.
Hanya saja sekarang ini harus bingung dengan biaya ujian akhir. Membutuhkan biaya yang lumayan besar. Aku pusing dibuatnya. Bagaimana cara bilang ke emak? Tak mau menambah beban hidupnya. Oh Allah … apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak?
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara pintu kamar diketuk. Tergesa-gesa menyeka sudut mata dengan ujung jari. Lalu melangkah untuk membuka pintu.
“Emak, ada apa?” tanyaku.
“Boleh Emak masuk, Nduk?” Emak balik bertanya.
Aku mengangguk lalu melangkah menuju dipan.
“Nduk … maafkan, Emak, ya? Belum bisa melunasi uang ujian akhirmu.” Tampak mata Emak berkaca-kaca.
Aku langsung menghambur memeluk emak. Harusnya aku yang minta maaf, telah menjadi beban hidup emak. Tanpa terasa air mata mengalir dari sudut mata dengan begitu derasnya. Bahu berguncang sangat hebat. Emak meregangkan pelukan.
“Nduk, kenapa malah nangis? Maafkan Emak, yo?” Suara Emak terdengar bergetar.
“Emak, ndak salah. Harusnya Kira yang minta maaf, karena sudah menjadi beban buat Emak,” ucapku lalu menunduk menatap lantai.
“Kamu ndak jadi beban kok, Nduk. Sudah kewajiban Emak sebagai orang tua menyekolahkanmu.”
Aku tak menanggapi omongan emak. Oh Allah kenapa hidup kami seperti ini? Kenapa harus ditakdirkan miskin seperti ini? Astagfirullah … maafkan hamba telah menolak takdirMu.
“Apa Kira berhenti saja ya, Mak? Lalu Kira ke kota, kerja cari uang,” kataku.
“Ndak! Emak ndak setuju. Sekolahmu tinggal beberapa bulan lagi, sebentar lagi ujian akhir. Emak akan berusaha agar bisa dapat uang untuk bayar uang ujian, Nduk. Wes ndak usah dipikir, tugasmu hanya belajar yang rajin. Masalah biaya urusan Emak.” Emak menepuk bahuku lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Mimpi
Ficção GeralPerjuangan seorang gadis desa untuk mencapai cita-citanya. Aku Kirania, seorang gadis desa yang ingin berjuang memajukan desa. Namun, perjuanganku penuh lika liku, bapak tidak pernah setuju anak gadisnya memiliki cita-cita yang tinggi. Bapak hanya...