My Veranda - 3

3.1K 276 21
                                    

“Ma, uangnya udah aku kirim yah” barisan kata yang selalu ingin diucapkan setiap anak untuk orang tuanya.

Veranda tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari sang ibu dari ujung sana. Perasaannya dilingkupi kebahagiaan karena berhasil sedikit demi sedikit meringgankan beban sang ibu.

“Veranda sehat Ma, nih Veranda lagi dikost. Shania lagi mandi mau pergi kerja dia”

“Aron gimana kabarnya Ma ? udah mendingan ?” senyum cerah Veranda berubah menjadi mendung ketika mendapat kabar bahwa adiknya belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Aron, adik Veranda divonis kanker darah stadium lanjut, bahkan sekarang Aron sedang koma dirumah sakit. Sudah setahun ini Aron tidak melihat dunia seperti dulu, dan itu menjadi pukulan telak bagi Veranda yang begitu menyayangi adik bungsunya.

“Mama tenang aja, Veranda bakal kerja lebih keras lagi buat biayai rumah sakit Aron sampai sembuh. Mama gak perlu khawatir, utang yang ditinggalkan Papa pasti Veranda lunaskan semuanya, nanti kalau semua sudah selesai Veranda pasti akan pulang kerumah”

dalam setiap ucapannya terdapat untaian doa, Veranda mengharapkan yang sama. Ia berharap badai berlalu dari hidupnya hingga ia bisa tenang menjalani sisa hidupnya. Ia juga berharap bahwa Mamanya tak pernah mengetahui apa pekerjaannya di ibu kota. Ia tak sanggup membayangkan reaksi sang Mama seandainya mengetahui kebenaran yang ada, pasti Mamanya akan langsung meninggal seketika.


Telfon pun ditutup, Veranda mengisap sebatang rokok mentol yang ia angguri ketika berkabar dengan Mamanya. Kepulan asap putih membumbung tinggi ketika Veranda melepasnya, berharap masalah itu ibarat kepulan asap yang bisa menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak.

“rokok mulu dihisap, kek gak ada yang lain aja” cibir Shania, teman satu kamar kost Veranda yang baru keluar dari kamar mandi.

“yang lain gimana ? lo sendiri tau gue sering ngisap yang begituan tiap malam” Shania terkekeh geli mendengarnya. Ia mulai memasang seragam pelayan kafe dan sedikit berias diri.

“Beby hubungi gue kemarin, katanya dia butuh staff buat kafe dia di Australia. Lo mau gak ?” kata Shania yang teringat dengan ajakan teman lamanya.

Veranda mematikan rokoknya yang telah habis, ia kembali mengeluarkan sebatang rokok baru dan membakarnya.

“gue sih mau aja Shan, tapi ongkosnya gimana ? emang naik pesawat bisa ngutang gitu” kata Veranda.

“Beby mau nanggung ongkos kita sama kehidupan kita disana kalo kita setuju mau pergi”

Veranda terdiam. Ia ingin pergi untuk bekerja yang lebih layak tapi ia sadar bahwa itu sangat mustahil saat ini.

“Lo tau sendiri kalo Pak Andi gak akan mungkin lepasin gue gitu aja” kata Veranda miris.

Shania terdiam mendengarnya, ia kasihan pada Veranda yang harus menjajahkan tubuhnya untuk melunasi utang Papanya dan membantu pengobatan sang adik. Ingin hati Shania membantu tapi ia sadar bahwa hidupnya juga rumit.


“ahhh seandainya Papa gue gak berurusan sama dia, mungkin sekarang gue bisa tidur nyenyak tanpa ada tubuh pria berbeda diatas gue setiap malam”


BRAK

BRAK

BRAK

Suara gedoran pintu kasar mengalihkan perhatian mereka. Veranda dan Shania kompak saling menghela nafas mengetahui siapa yang bertamu di siang hari ini.

Veranda bangkit dari duduknya tak lupa ia meninggalkan sebatang rokok yang masih menyala diatas asbak, ia mengambil amplop putih sisa uangnya dari tas. Ia membuka pintu dan terlihat seorang pria paruh baya menatapnya dengan tatapan mengejek. Pak Andi.

My VerandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang