Keheningan malam makin menyeruak dalam kepekatan gelapnya. Bulan pun bahkan tak menampakkan wujudnya. Terlalu takut untuk sendiri.
Karena, para bintang pun sudah terlalu lelah untuk bersinar di daratan ibukota. Mereka lebih suka bersinar di tengah pedesaan yang terasa sejuk dan nyaman. Bahkan, untuk berlama-lama di dalamnya. Alasannya sedikit muluk. Mereka lebih suka kepolosan desa.
Huh, bagaimana tidak? Malam di ibukota lebih terdengar menakutkan. Padahal, tak ada perbedaan antara siang dan malam. Tetap saja ibukota akan ramai dengan kesibukan penduduknya.
Namun, tentu saja sifat antara keduanya berbeda. Karena malam diperuntukkan bagi mereka yang ingin bebas dari runtutan waktu yang membelenggu. Bahkan hingga sering dianggap buruk bagi segelintir orang.
Begitu pun dia, lelaki bernama Armandio Prayoga. Pemuda dua puluh tahun, yang sekarang berstatus sebagai pegawai minimarket. Ia terpaksa kembali ke ibukota bersama sang ayah, tiga bulan lalu. Agar, terlepas dari pengejaran pihak rentenir di pulau Sumatera sana.
Tenang saja, luka lebamnya sudah diatasi dengan kompresan air hangat. Beberapa plester pun turut melekat di ujung bibir dan pelipisnya. Lagipula, lebam itu tak perlu dipersoalkan secara serius. Persoalan hidup yang benar membelit, sudah menutupi hingga membutakan rasa nyeri nan perih di sekujur tubuh yang terluka.
Kepulan asap putih halus, keluar dari bibir pucatnya. Saat ini ia sedang duduk berselonjor bebas di sudut ruangan. Tenang saja, ia tak sendiri. Bukan, kopi juga susu. Melainkan secangkir teh hangat yang menemani dirinya kala itu. Lelaki itu memang tak suka rasa pahit si kopi. Sedang si susu, tubuhnya bereaksi lemah terhadapnya. Sekali teguk, lelaki ini bakal mual karena rasanya.
Teh, memang sajian yang paling tepat untuknya. Rasanya, tenang dan menyegarkan. Karena berasal dari daun hijau yang dipetik, lalu diproses sarinya. Hingga menjadi serbuk yang kini bisa dinikmati banyak orang. Bisa disajikan tawar maupun manis. Terserah, si peminum. Lebih suka yang mana. Karena sifatnya fleksibel.
Pikiran pria itu, sedang meruntut hingga bercabang. Entah harus di-apa-kan agar selesai. Apalagi, kalau bukan masalah kehidupan di muka bumi.
Kini, ia menatap langit malam dengan pandangan kosong. Tak ada pengharapan darinya. Hanya, ingin menatap ke atas."Huh?! Kenapa gua masih bantuin bocah satu ini?" ujar Saga sambil berjalan mendekati Dio dari pintu kamar kosannya. Wajar, umur Saga lebih tua lima tahun darinya.
Saga pun akhirnya duduk di sebelahnya, lalu menyambar puntung rokok dan pemantik milik Dio yang tergeletak di lantai.
"Dunia itu kejam yah?!" ujar Saga datar.
Dio menoleh pandangannya ke arah Saga sebentar. Lalu, kembali menghirup nikotin dari rokoknya yang kini sudah setengahnya terbakar.
"Mau dengar salah satu klise tipuan?" tanya Dio. Saga menaruh rasa penasaran padanya. Si lelaki pendiam ini, ternyata bisa bicara juga. Begitu pikirnya.
"Sebenarnya, kita hidup dalam teori konspirasi. Bumi adalah sebuah planet. Itu salah satu bagiannya, agar kita memahami dengan logika.
Pernyataan kuatnya, adalah hal yang bisa kita lihat seutuhnya. Dan itu mempertegas jawabannya. Sejatinya, Matahari itu mengitari Bumi. Dan kita berada pada sebuah ruang dimensi untuk melihatnya dari bumi.
Akhirnya yang kita bisa dapati, jangan terlalu dianggap serius. Karena itu semua hanya teori kata-kata yang hanya membuat pikiran kalut membelut."
Dio terkekeh dengan kalimat itu. Entah, apa yang membuatnya lucu. Saga yang awalnya memicingkan mata, akhirnya ikut larut dengannya. Hanya saja, saat itu mereka ingin tertawa lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Teen FictionKetika raja takdir mempertemukan kita lewat perantara tuan waktu dalam sekelumit skenario. Hari demi hari, akhirnya kulalui bersamamu. Meniti tiap masa pada kecepatan waktu yang berbeda. Saling berbagi cerita denganmu, itu adalah kesenangan terindah...