Apakah pertemuan kita merupakan skenario waktu? Atau hanya masa pendukung yang tak memiliki makna?Sekiranya, tak ada sirat arti. Lalu, mengapa kau berusaha untuk mengejar omong kosongku?
Jika, ini memang memiliki arti. Lalu, mengapa kau patahkan asa yang mulai mematri penuh harap.
Andai kau tak serumit itu!
***
Dari ringkukkannya, tubuh pemuda itu bergeliat di lantai. Sengaja melancarkan aliran darah yang terasa bak, dipenuhi kerumunan semut. Matanya, perlahan membuka pandangan. Agak kabur, namun ia berusaha fokus.
Saat tersadar penuh, ia mulai menghela nafas. Desahan nafas yang penuh sesak. Tak percaya, ia masih berada di dunia kehidupan. Ingin, sekali lagi ia kembali. Namun, alam bawah sadarnya tak menurut pada tuannya.
Akhirnya, ia mulai terduduk meratap pada dinding bilik kamarnya. Pandangannya, mulai mengedar ke penjuru sudut ruang sesaknya. Rambut sedikit ikal nan tebal itu, sengaja disibak acak.
Pikirannya, kembali meruntut abstrak. Agak berkalut, karena ada berbingkai benang rencana yang mengulik perilaku tuannya kelak. Tak beberapa lama, ia mulai ingat akan misi rencana B yang sempat terlintas di otaknya.
Langsung saja. Tanpa pikir panjang, Dio mulai gerasak-gerusuk. Mengambil amplop putih di tumpukan kaos dalam lemari, yang biasanya jadi tempat penyimpanan tabungan uang tak seberapa. Bukan, karena ia tak miliki kartu rekening bank. Uang itu sifatnya sebagai cadangan. Lagipula, isinya kebanyakan uang receh yang tak bisa disimpan di buku rekening.
Setelah dihitung-hitung, lumayan. Totalnya ada dua ratus enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah. Setidaknya, itu lebih dari cukup sebagai ongkos menuju Palembang. Ditambah uang untuk sekali makan.
Rencananya, ia memang ingin berjumpa dengan ayah. Lalu, sedikit demi sedikit melancarkan aksi nekatnya itu. Berharap semoga sang ayah ikut menurut terkait pandangan instant tersebut.
Setelah dirasa siap berkemas, ia kemudian beranjak dari persinggahannya. Lalu, mengunci pintu kamar kos. Dan meninggalkan kuncinya di pinggiran sudut sela ventilasi atas pintu.
Tak terasa, seharian ini ia hanya tidur. Hingga langit terang berubah warna pun, tak bisa ia saksikan. Langit kelam, memang nuansa yang tepat untuk kehidupannya.
Kedua tangannya sengaja dilipat di depan dada, merengkuh badan berbalut kaos abu-abu lusuh dari hawa dingin yang menusuk. Jaket yang melekat pada tubuhnya pun juga tak mampu menghangatkan dirinya. Sebab jaket berwarna biru dongker yang kini sudah gombrang dan pudar itu -lantaran disikat dengan kasar oleh tuannya- fungsinya sudah melemah.
Pada jalan setapak pinggiran trotoar yang dekat dengan tembok pembatas bangunan deretan ruko, kaki beralaskan sandal jepit hitam itu terus melangkah. Menyeret badan ke penghujung terminal bus yang tak jauh dari daerah kos-kosannya.
Tak peduli, dengan perut yang keroncongan. Uangnya ingin disimpan, kali-kali uang transport naik. Mungkin, kala di dermaga ia akan membeli nasi bungkus yang dijual di pinggiran sebelum memasuki gedung pelabuhan.
Kini, ia berdiri di persimpangan jalan raya besar. Hendak menyebrang melewati kerumunan kendaraan yang cepat melesat kesana-kemari. Lampu sorot kendaraan yang hilir mudik, mengganggu penglihatan. Sekali-kali, matanya mengerjap, kala respon motorik bekerja.
Intensitas kendaraan pun mulai terasa lengang. Dirasa sudah aman, ia pun mencoba melintasi area jalan raya itu.
Brukk!!!
Beberapa detik kemudian, tubuh Dio terkapar lemas di badan jalan. Pandangannya mulai kabur. Namun, samar-samar ia masih bisa merasakan keberadaan seorang gadis dan lelaki paruh baya yang tampak cemas sedang menatapnya. Tak lama kemudian Dio hilang kesadaran, di tengah rasa gundah yang mencekam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
أدب المراهقينKetika raja takdir mempertemukan kita lewat perantara tuan waktu dalam sekelumit skenario. Hari demi hari, akhirnya kulalui bersamamu. Meniti tiap masa pada kecepatan waktu yang berbeda. Saling berbagi cerita denganmu, itu adalah kesenangan terindah...