Chapter I : Si Lelaki (1)

24 9 7
                                        

Entah kenapa merah itu identik dengan diriku. Warna yang sering dikaitkan dengan api. Tapi sungguh, aku bukanlah api yang memiliki bara. Aku daun gugur di musim kemarau...

***

Langkah kaki lelaki itu berjalan lambat. Suara seret sepatu dan desahan nafasnya yang tersengal lemah, menepis keramaian malam.

Darah yang kini sudah mengering di bagian pelipis kanannya, sengaja tertutup tudung hoodie hitam. Di bagian sudut bibir kirinya pun, penuh lebam biru dan darah kering lainnya. Tangan kanannya, memegang bagian perut yang terasa sakit.

Sorot nanar matanya masih membekas dendam. Lingkar hitam di bawah matanya makin menunjukkan amarahnya.

"Ahhh!!!"

Setelah menendang keras angin kosong, ia terduduk lemas di tepian trotoar jalan. Masa bodo, dengan lalu lalang kendaraan dan tatapan heran orang-orang yang makin menyusut jumlahnya. Kedua tangannya yang terluka di area ruas jari mulai menutupi wajah lebamnya.

Kira-kira dua jam lalu, ia berkelahi hebat dengan tiga orang tak dikenal, yang mengaku dari pihak rentenir. Tepatnya, saat ia pulang dari tempat kerjanya di sebuah minimarket. Saat ia kebagian jatah malam berjaga.

"Kemana perginya bokap lo?"

"Entah, gua udah nggak berurusan dengan dia! Jadi jangan pernah lagi samperin gue!"

"Kalau lo nggak kasih tau, kita nggak segan-segan terus buru lo."

Anehnya, orang-orang yang berlalu lalang bersikap seolah acuh. Sampai para pemberontak itu pun meninggalkan dirinya yang terkapar lemas di badan aspal.

Ah, dasar ayah tak berguna! Dia memang ayah terburuk di dunia. Itu pikir Dio.

***

"Sampai kapan ayah tinggal disini?" tanya Dio sedikit gusar. Setelah membuka pintu kamar kos berpetak 3x3 meter.

Lelaki paruh baya itu hanya terdiam di bagian sudut ruangan, samping lemari pakaian. Tatapannya kosong namun sarat berbagai pikiran. Wajahnya yang sudah memiliki keriput di sana-sini, juga tak luput dari sasaran amukan bodyguard pekan lalu.

"Ini sudah yang kedua kalinya. Ayah mau Dio dipukuli untuk yang ketiga kalinya?!"

Huh?! Dio mendengus kesal. Ransel dipunggungnya, dilepas secara emosi. Kini, ia terduduk lemas tepat di samping pintu. Mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

Respon itu tak berubah. Lelaki paruh baya itu tetap dalam keheningannya.

"Dasar berengsek!" gerutu Dio.

Kini ia merogoh sakunya. Mendapatkan pemantik api beserta bungkus kemasan rokok yang tersisa dua puntung di dalamnya.

Setelah menyesap nikotin yang terbakar, ia mengeluarkan hasil pembakaran senada dengan ritme nafasnya. Asap putih halus mengepul dari mulutnya. Membiarkan ruangan kecil itu dipenuhi olehnya.

Uhuk! Uuhuuk!!

Akhirnya, Dio berhasil membuat lelaki paruh baya itu bereaksi. Ia segera melirik ayahnya. Lalu sedikit membuka pintu kamar, memberikan celah udara segar masuk bergerak bebas. Agar pekatnya tak terlalu menusuk lebih dalam.

"Maaf! Maafkan ayah!"

Setelah terperangah dengan kata itu, mata Dio mulai menutup seketika. Menghela nafas dengan lemah. Menyandarkan kepalanya pada dinding. Pikirannya berkelut memecah perkara.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang