7. Harapan di Penghujung Senja #END

707 59 42
                                    

Aku bergerak menuju tempat itu walau sedikit mengalami kesulitan. Setelah berjuang menghadapi kerikil-kerikil kecil yang menjadi penghalang terbesarku. Akhirnya aku sampai.

"Hey, apa kabar?" tidak ada suara selain semilir angin yang terus berhembus.

Aku mendongak, menatap langit yang berwarna kemerahan. Panorama yang paling kusukai di sore hari.

"Aku benar-benar ingin bertemu dengannya." Gumamku pada langit sembari memejamkan mata sebentar sebelum membukanya lagi.

"Setelah sepuluh tahun kenapa baru datang sekarang?"

Angin musim gugur tiba-tiba menerpa wajahku. Langit senja yang menenangkan netra tak lagi menjadi perhatianku. Kini pandanganku terpusat kepada sosok berambut pasir  yang berdiri di sisi kanan tubuhku.

Sejujurnya aku terkejut. Sangat malah. Melihatnya berdiri di sana sambil tersenyum membuat jantungku berdebar sedikit menyakitkan.

Wajahnya tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Senyum itu masih menawan seperti biasanya. Tubuhnya juga tidak mengalami perubahan.
Yang berubah hanya waktu dan aku.

Tiba-tiba aku terkekeh pelan memicu pandangan heran darinya.

"Ada apa?" ah~ bahkan suaranya tetap terdengar sama. Begitu jernih dan mengalun tegas di telingaku.

Aku menggeleng. Menjawabnya secara non-verbal.

Dia mendengus pelan. Tidak puas dengan jawabanku. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa baru sekarang menemuiku?"

Aku kembali menatap langit yang beberapa saat kuabaikan keindahannya. Menjawabnya dengan lembut aku mulai bersuara. "Hanya ingin saja."

Meliriknya lewat ekor mataku, aku melihat wajahnya semakin masam.

"Jadi ... kalau tidak ingin, tidak akan datang, begitu?"

Aku mengangguk dan semakin geli dengan tingkahnya. Sepertinya aku sudah kelewatan.

"Bercanda. Tentu saja aku datang karena aku rindu." Lalu, aku mengamit lengannya dan menyuruhnya untuk segera berjongkok di depanku.

"Jangan menggodaku." Pungkasnya kemudian.

"Hahaha maaf-maaf," spontan aku menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Memeluknya erat dan menghirup aromanya.

"Permintaan maaf ditolak." Aku kembali terkekeh lalu melepaskan pelukan kami.

Manik merah itu menatap dalam mataku. Untuk beberapa saat aku kembali tertegun untuk kesekian kalinya karena betapa Tuhan sangat menyayangi laki-laki di hadapanku ini. Lihatlah, wajahnya bahkan terpahat sangat sempurna.

Aku sadar sepenuhnya saat ia mulai mengikis jarak di antara kami. Semakin dekat dan di detik selanjutnya dapat kurasakan bibir dinginnya mengecup bibirku.

Mengecapnya lebih dalam. Mengulumnya dengan lembut. Aku tahu ada perasaan di mana aku tidak ingin melepaskannya lagi.

Aku tidak ingin ciuman ini berakhir dengan cepat. Aku ingin merasakannya sekali lagi. Menyakinkan diriku bahwa ia benar-benar masih ada. Masih hidup di bawah langit yang sama denganku.

***[Yumeh POV]***

Kedua bibir itu nampak mulai memberi jarak. Lalu, mereka kembali berpelukan. Kali ini lebih erat.

"Terima kasih ...." Ada air mata yang jatuh di sana. "Terima kasih sudah datang. Terima kasih karena tidak melupakanku selama sepuluh tahun ini."

Setelah mengatakan itu Okita Sougo melepaskan pelukannya. Menangkup wajah manis di depannya dan menciumi kedua kelopak mata yang basah oleh air mata.

Partner in crimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang