What I Can Do

464 44 0
                                    

"Anu, [Name]." Dengan spontan aku memanggil nama depannya. Dia pun terlihat terkejut.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

***

"Eh?" Hanya reaksi singkat disertai wajah bingung yang kudapatkan dari [Name].

"Kira-kira akhir tahun lalu, apa kau pernah dapat masalah?"

"Masalah..." [Name] menundukkan wajahnya. Mencoba menyusuri ingatannya.

Lama. Satu kata pun tak kunjung keluar darinya.
"Hmm...yang kuingat hanya aku diturunkan ke kelas E, itu saja."

"Kalau boleh tahu, kenapa kau sampai diturunkan ke kelas E? Apa nilaimu bermasalah? Tapi di tes tadi, nilaimu lumayan bagus. Atau ada alasan lain?"
Sebenarnya aku ingin menghindari pertanyaan ini. Takutnya hal yang sama seperti tadi terulang kembali. Tapi karena rasa curiga ku padanya belum dapat hilang, tak ada salahnya untuk mencoba bertanya lagi.

[Name] kembali menundukkan kepalanya. Ekspresi kesulitan pun terlihat jelas di wajahnya. Dengan bibir bergetar, dia mulai berbicara.

"Soal itu...ー"

"Kalau kau tidak mau menjawabnya, tidak usah memaksakan diri." Aku jadi tidak enak sejak melihat ekspresinya wajahnya tadi.

Tanpa sadar gadis itu tertegun dengan mata membulat dan pandangan tertuju padaku. Dia mulai tersenyum yang kemudian menjadi tawa.
Apa ada yang aneh di wajahku?

Reader's POV

Kupikir Akabane-kun itu tipe yang tidak peduli dengan apapun. Ternyata dia masih memikirkan kejadian di kelas tadi. Sekali lagi pandanganku terhadap Akabane-kun berubah.

Tanpa kusadari tawa pun mulai terlepas dari mulutku.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" Dengan ekspresi kebingungan, Akabane-kun bertanya padaku.

Perlahan-lahan aku menghentikan tawaku. Dapat kulihat Akabane-kun masih menunggu jawabanku. "Tidak. Tidak ada kok. Hanya saja aku tidak menyangka Akabane-kun merasa tidak enak karena kejadian tadi."

"Tentu saja. Memangnya aku tidak punya hati, apa?" Seringai jahil pun terbentuk di wajahnya.

Padahal ini situasi yang sama dengan yang tadi, tapi entah kenapa terasa berbeda. Tak ada rasa sakit lagi ketika membicarakannya. Mungkin karena kami mulai saling mengenal satu sama lain? Senyum pun tak bisa lepas dari wajahku ketika memikirkannya.

"Arigatō, Akabane-kun. Aku tidak apa-apa, kok. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Dengan ekspresi lega karena kekhawatirannya reda, Akabane-kun pun berkata.
"Oi,oi. Kalau mau berterima kasih padaku tidak usah kaku begitu."

"Eh? Maksudnya?" Apa ada yang salah dari kata-kataku barusan?

"Bukannya kita sudah saling kenal mengenal? Tidak usah terlalu kaku begitu padaku. Panggil saja aku dengan nama depanku, semua juga begitu kok padaku." Dia pun mulai menjelaskannya dengan panjang lebar.

Akabane-kun mendekatkan wajahnya padaku. Tu, tunggu? Bukannya ini terlalu dekat? Aku pun melangkah mundur. Tapi semakin aku melangkah mundur, Akabane-kun juga semakin mendekatkan wajahnya padaku. Dan begitu seterusnya.

Aksi kejar-kejaran itupun terhenti setelah aku sadar bahwa di belakangku adalah dinding. Aku yang tidak kuat menatapnya pun menutup mataku. Berharap dia tidak melakukan hal-hal aneh padaku. Melihatku menutup mata, Akabane-kun pun mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik.

"Dan bukannya tadi aku sudah memanggil namamu? Jadi kenapa tidak kau coba panggil namaku? Dan tenang saja, aku tidak akan melakukan apa-apa padamu di tempat terbuka seperti ini."

Aku membulatkan mataku dan memandangnya dengan wajah memerah. Wajahnya yang sudah menjauh dariku menampakkan seringai jahil bak iblis kecil.
Dia menggoda ku!!

"B, baka!!" Aku pun mulai memukulinya. Jujur aku sangat kesal padanya sekarang.
Aku pun menghentikan pukulan ku dan menatapnya sejenak, seringai iblis kecil itu belum lepas dari wajahnya.

"Kau benar-benar baka, Karma-kun!!" Aku pun pergi meninggalkannya yang tertawa sambil pura-pura merasa sakit karena pukulan ku.

Dengan setengah berlari, Karma-kun mengejar ku. Kami berjalan beriringan dengan Karma-kun yang masih berusaha minta maaf karena kejahilannya tadi. Kami pun berpisah jalan karena arah rumah kami berbeda.

Pada akhirnya Karma-kun tidak meminta jawaban dari pertanyaannya tadi. 'Jawablah ketika kamu merasa tidak apa-apa jika menceritakannya' katanya. Ternyata Karma-kun orangnya perhatian juga ya.

***

Third person's POV

Laki-laki berambut merah itu meletakkan tasnya di meja belajarnya, menghempaskan badannya di kasur dan mengingat kejadian yang dialaminya hari ini. Padahal semester pertama sudah setengah jalan, dan perseteruan dengan kelas A sedang sengit-sengitnya. Kenapa malah ada murid dari kelas A yang penghuni kelasnya pintar-pintar malah diturunkan ke kelas E? Mau bagaimana pun ini mencurigakan, begitulah pikirnya.

Belum lagi anak dari kelas A itu tidak terlihat kesulitan dalam belajar, dan tidak terlihat seperti anak nakal. Kata-kata dan perilakunya pun sopan. Apa yang membuatnya diturunkan? Atau jangan-jangan dia adalah mata-mata dari kelas A yang ingin tahu perubahan yang terjadi di kelas E? Dia pun mulai memikirkan berbagai kemungkinan.

[Fullname], adalah nama anak itu. Gadis yang terlihat ramah dan sopan saat bergaul dengan sekitarnya. Kemampuan belajar yang lumayan dan wajahnya pun manis. Tidak ada hal aneh dari gadis itu. Meskipun gadis itu terkesan misterius, entah kenapa Karma tak bisa mencurigainya. Dia juga tidak suka melihat gadis itu berwajah murung, padahal ini pertama kalinya Karma bertemu dengannya.

Mengenai alasan diturunkannya [Name] ke kelas E, Karma sudah tak terlalu memperdulikannya. Untuk saat ini dia tidak ingin membuat [Name] kesulitan. Dia bisa menceritakannya jika dia mau.

Untuk saat ini yang bisa dia lakukan adalah membuat gadis itu nyaman di lingkungan barunya.

Ya, hanya itu yang bisa dia lakukan.

-----------------------

Akhirnya selesai juga ngetik part ini setelah sekian lama vakum.

Tugas kuliah yang menumpuk dan UAS pun telah selesai. Ide-ide pun kembali mengalir dan jadilah part ini. Semoga kedepannnya gk selama ini updatenya. ☺️

Sekian dari Alicia, sampai jumpa di part selanjutnya,

Have a good day. 😊

New Life | Karma X Reader X AsanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang