Chapter 12

498 30 11
                                    


"Akhir minggu ini aku ke tempat Kagura, ya," kata Tsuki.

"Ya," jawab Gintoki sambil membaca Jump.

"Jadi, kau buat sarapan sendiri."

"Ya."

"Jangan lupa beri makan Sadaharu."

"Ya."

"Jangan lupa cabut kawat BH-ku."

"Ya. Ah!"

Gintoki mencabut kunai kecil dari lengannya. "Apa-apaan kau, wanita!?"

"Kau mendengarkan aku tidak, sih?!" bentak Tsuki.

"Ya, aku mendengarkanmu," Gintoki melempar kunai kecil tersebut ke atas meja. "Kau minta aku mencabut kawat nyamuk di ruangan ini, kan?"

Tsuki bersedekap dan menyandarkan dirinya ke sofa. "Aku mau ke tempat Kagura akhir minggu ini."

"Ya, silakan saja," kata Gintoki. Dia kembali membaca Jump sambil tiduran di sofa.

"Kau tidak mau ikut?" tanya Tsuki.

"Sampaikan saja salamku pada Kagura dan Sougo," jawab Gintoki.

Dahi Tsuki mengernyit. "Kenapa kau tidak mau ikut?"

Gintoki mendengus dan meletakkan Jump di atas dadanya. "Kau punya pertanyaan yang lebih berbobot dari itu."

Tsuki tidak menjawab. Gintoki kembali mendengus dan menutup kedua matanya.

"Kau tahu kenapa aku tidak mau ikut," ucapnya.

Tsuki tetap tidak menjawab. Dia mengambil kiseru dari atas meja dan mengisapnya seraya menyilangkan kakinya.

"Kau tidak mau melihatku menggendong Souichiro," kata Tsuki.

Gintoki menatap istrinya. "Dan itu menyakitkan."

Mata Tsuki dan Gintoki bertatapan sekarang. Gintoki mendengus seraya memiringkan badannya ke arah Tsuki.

"Aku masih ingat dengan jelas wajahmu di ruangan itu. Aku masih ingat semuanya," kata Gintoki.

"Aku masih ingat saat aku mendorong Kagura keluar jendela dari lantai tiga gedung itu. Aku masih mempertanyakan kebodohanku waktu itu. Kenapa aku mendorongnya? Jika dia tidak selamat, mungkin aku sudah bunuh diri."

"Lalu, saat Kagura masuk ruang operasi untuk melahirkan Souichiro. Aku..."

"Cukup, Gintoki," Tsuki memotong omongan Gintoki. "Sampai kapan kau hidup dalam penyeselanmu yang tidak ada gunanya itu?"

Gintoki terdiam menatap istrinya. Tsuki juga demikian.

"Terserah kau saja. Aku tahu aku tidak bisa menghapus rasa traumamu," kata Tsuki sambil mengisap kiseru-nya. "Sampai mati pun aku tak akan bisa melakukannya. Tak ada yang bisa."

Gintoki masih terdiam. Dia masih memperhatikan istrinya yang kini menatap ke tempat lain.

"Mungkin aku memang tidak di..."

"Aku takut kehilangan kamu, Tsukuyo."

Pandangan Tsuki kembali tertuju pada Gintoki. Gintoki menatapnya, wajahnya terlihat serius.

"Aku tidak mau melihatmu terluka lagi seperti itu. Aku tidak bisa melihatmu seperti itu," ucap Gintoki. "Kau tahu aku benar-benar murka saat pria itu meninju perutmu. Aku ingat, aku menghancurkan wajahnya hingga tak berbentuk."

"Aku berusaha melindungi ratusan ribu orang yang tinggal di Edo. Parahnya, istriku sendiri menjadi korban di antara ratusan ribu orang itu. Kau dengar? Istriku adalah korban kejamnya orang-orang bodoh pengikut Utsuro."

"Kau tahu bagaimana rasanya jadi seorang Sakata Gintoki saat itu, Tsukuyo?"

Tsuki tidak menjawab. Namun, dia menggelengkan kepalanya.

"Kau tak perlu tahu," kata Gintoki. "Dan kau sudah tahu. Takasugi dan yang lain pasti menceritakannya padamu."

Gintoki mendengus. "Jujur saja, aku masih suka mengalami mimpi buruk sampai sekarang. Aku kehilangan kamu, dan ketika aku bangun, dadaku sesak. Saat aku menoleh ke kanan, kau di sana, tidur dengan pulas. Di satu sisi, aku lega. Tapi, rasa sakit di dadaku tidak hilang semudah itu."

"Melihatmu menggendong Souichiro di rumah sakit, membuat dadaku sesak. Kamu sadar aku selalu memalingkan muka jika kau menggendong Souichiro. Atau, aku bicara dengan Sougo atau Toshi. Aku tak mau melihatnya, karena yang aku liat dalam pelukanmu adalah bayiku, bukan Souichiro."

"Tidak, aku tidak membenci Souichiro. Aku mencintainya, layaknya anakku sendiri. Hanya saja, aku tidak ingin menggendongnya karena berat bagiku untuk melakukannya. Jika aku boleh berandai-andai, aku berharap aku sedang menggendong anakku sekarang."

"Yah, semua sudah terjadi. Sudah lewat. Aku hanya bisa mengobati diriku sendiri. Kamu memang tidak bisa menyembuhkan traumaku, dan hanya aku yang bisa melakukannya. Aku... Oi!"

Tangan Gintoki menggenggam sebuah kunai berukuran besar. Dia menangkapnya sebelum kunai tersebut menancap di dahinya.

"Kau..." Gintoki mengubah posisinya menjadi duduk. Namun, dia berhenti bicara saat menatap istrinya.

Air mata Tsuki terlihat menetes. Dia menunduk dan menatap ke bawah seraya tersenyum tipis.

"Aku benci omonganmu," ucapnya lirih. "Aku benar-benar membenci semua kata yang keluar dari mulutmu."

Tsuki menengadah menatap Gintoki. "Sudah aku bilang berapa kali, bagi rasa sakitmu denganku. Aku tidak mau kau mengalami mimpi buruk sendirian. Aku benci itu."

Gintoki terdiam sebentar. "Apakah kau membagi rasa sakitmu akan kejadian itu denganku, Tsukuyo?"

Tsuki tidak menjawab.

Gintoki mendengus. "Tidak, kan?"

Gintoki meletakkan kunai di atas meja dan kembali menatap istrinya. "Ada hal yang tidak ingin kita bagi dengan orang lain. Tujuannya, agar tidak menjadi beban pikiran untuk orang lain."

"Aku tidak mau membebanimu dan menambah pikiranmu soal itu. Kau dan aku mengalami hal yang sama, kita melewatinya berdua. Kita saling menguatkan satu sama lain, dan itu tidak mudah. Menguatkan satu sama lain bukan berarti kita membagi rasa sakit kita agar kita merasakan hal yang sama. Tidak seperti itu."

"Tidak membahas kejadian itu adalah cara kita menguatkan satu sama lain selama ini, Tsukuyo. Membiarkanku membenci diriku sendiri adalah caraku untuk menguatkan diri. Kau tahu itu, dan kau paham itu. Kau pun tidak bertanya padaku seperti apa perasaanku, dan itu membuatku lega."

"Kau memberiku waktu untuk membenci diriku sendiri. Kau memberiku tempat untuk menyesali perbuatanku. Sebaliknya, aku memberimu tempat dan waktu untuk menangisi apa yang telah terjadi. Di saat seperti itu, aku dan kamu ada jika kita saling membutuhkan. Kau tidak pernah meninggalkanku, dan aku juga tidak pernah meninggalkanmu. Cara itu sudah cukup. Kau tahu apa yang bagus dari cara itu, Tsukuyo?"

Tsuki menggeleng.

"Cara itu membuatku semakin takut untuk kehilangan kamu. Cara itu membuatku semakin cinta padamu, Tsukuyo. Cara itu membuatku merasa dihargai dan dicintai olehmu, Tsukuyo."

Tsuki terisak pelan. Gintoki mendengus dan tersenyum lebar.

"Terima kasih, telah mau berjuang denganku selama ini, Tsukuyo," ucap Gintoki. "Terima kasih, sudah ada di sana menemaniku."

Gintoki berdiri dan berjalan ke arah Tsuki. Gintoki mencium dahi Tsuki dan mengelus kepalanya.

"Temui Kagura akhir minggu ini. Bantu dia di sana. Aku akan pergi sarapan dengan Katsura atau Shinpachi," kata Gintoki. "Aku akan berpikir dua kali untuk datang ke sana menjenguk cucuku. Aku akan mengabarimu."

Die Another Day 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang