Chapter 24

456 31 49
                                    

"Wah, aku masih merasa sangat kenyang," Gintoki melepas parka-nya dan melemparnya ke atas sofa. "Honey, buatkan aku teh panas."

Tsuki tak menjawab. Dia duduk di sofa dan memandangi Gintoki dengan tajam.

Gintoki tiduran di sofa. Dia menyilangkan kedua tangannya dan menjadikannya bantal.

"Gintoki," Tsuki melipat kedua tangannya di depan dadanya sambil menyilangkan kakinya. "Jangan membuatku takut."

Gintoki menoleh ke arah Tsuki. Dia tidak bicara dan hanya memandangi Tsuki.

"Kau benar-benar membuatku takut," ucap Tsuki pelan. "Apa yang terjadi?"

Gintoki kini duduk di sofa. Dia mendengus. "Aku harus pergi meninggalkanmu untuk sementara waktu tanpa komunikasi, Tsukuyo."

Gintoki masih memandang Tsuki. "Aku harus membawa jantung Utsuro ke luar Jepang. Aku tak boleh berkomunikasi dengan siapa pun agar keberadaanku tidak ketahuan. Tak ada yang boleh tahu ke mana aku pergi, termasuk kamu."

"Awalnya, Saitou Shimaru dari Divisi Tiga Shinsengumi yang ditugaskan untuk pergi. Tapi, hal itu berbahaya. Harus warga sipil yang membawanya agar tidak terdeteksi. Dan aku adalah warga sipil."

Mulut Tsuki menganga. "Kau..."

"Aku menawarkan diri," ucap Gintoki.

Tsuki berdiri dengan cepat.

"Tetap pada tempatmu, Tsukuyo," Gintoki menatap tajam Tsuki. "Aku belum selesai bicara."

"Kapan kau pergi?" tanya Tsuki.

Gintoki menarik napas panjang. "Besok."

Tsuki berbalik dan bergerak cepat. Dia hendak berlari menuju kamar. Tapi, Gintoki berdiri lebih cepat dan berhasil meraih tangan Tsuki.

Tsuki menarik tangannya. Tangannya terangkat dan terayun dengan cepat dan penuh tenaga. Telapak tangannya mendarat di pipi Gintoki dengan keras. Kepala Gintoki mengayun ke kanan. Pipinya memerah.

"Kau pikir tidak membicarakan hal ini terlebih dulu denganku adalah hal yang paling tepat?" suara Tsuki bergetar dan meninggi. "Urus saja dirimu sendiri! Lakukan apa yang kau ingin lakukan!"

"Tetap di tempatmu berdiri, Tsukuyo," ucap Gintoki pelan. "Aku belum selesai bicara."

"Setelah kau menentukan sendiri apa yang ingin kau lakukan, kau masih menyuruhku untuk menurut padamu?!" teriak Tsuki.

BUAK.

Gintoki meninju meja di depannya. Meja tersebut nyaris hancur, padahal kayunya cukup tebal.

"Duduk sekarang, Tsukuyo," kata Gintoki pelan. "Aku belum selesai bicara."

Tsuki terdiam. Dia masih berdiri di tempatnya. Dia memandang Gintoki dengan kesal. Dia benar-benar marah.

Gintoki menarik napas panjang dan mendengus keras. Dia duduk di sofa dan menatap Tsuki.

"Aku tahu aku egois. Aku sangat egois. Aku menentukan semuanya sendiri. Aku menentukan masa depanmu dengan jalan pikiranku dan aku memintamu untuk selalu mengerti aku."

Gintoki menggeser meja dengan tangan kirinya. Dia berlutut di depan Tsuki. Tiba-tiba, dahi dan kedua telapak tangannya menyentuh tatami.

"Maafkan aku," ucapnya. "Aku egois."

Tsuki terdiam. Air matanya menetes. Tsuki tidak tahu apa yang harus dia katakan. Ada rasa bersalah dalam dadanya melihat Gintoki bersujud meminta maaf padanya.

"Aku punya alasan kenapa aku melakukan ini," ucap Gintoki dalam keadaan masih bersujud pada Tsuki. "Aku ingin melindungi Shouyou-sensei. Dengan membawanya pergi jauh dari Jepang, aku akan melindunginya dan membalas budi baiknya. Aku juga akan melindungi semua orang jika aku melakukannya."

"Dan kenapa aku tidak mengatakannya padamu lebih dulu, karena aku tidak ingin meninggalkanmu. Tapi, ini satu-satunya cara untuk membalas kebaikan Shouyou-sensei padaku dan mereka yang pernah menjadi muridnya."

"Aku bisa merasakan kebencianmu saat kau menamparku, dan juga sakit hatimu. Percayalah, ditampar olehmu rasanya jauh lebih dari sakit daripada mengalami patah tulang dalam setiap pertempuran."

"Lihat aku," pinta Tsuki.

Gintoki terduduk. Matanya berarir. Dengan salah tingkah, dia menatap Tsuki. Air mata Tsuki telah membasahi kedua pipinya.

"Di saat semua orang mendapat kebahagiaan mereka, aku harus melepas kebahagiaanku untuk pergi dariku," isak Tsuki. "Jangan pernah perlakukan aku seperti ini lagi."

Gintoki terdiam sebentar. "Selama kau hidup dengan si bodoh Gin-san, dia akan terus melakukan hal ini padamu. Apakah kau terima itu?"

Tsuki tersenyum tipis. "Untungnya, aku sudah terbiasa dengan omong kosongmu itu."

Gintoki berdiri dan menatap istrinya. "Aku tahu kau akan bilang kalau aku sudah terlalu sering mengorbankan nyawaku untuk orang lain. Setelah perjalanan ini selesai, aku berjanji akan membahagiakan diriku sendiri denganmu."

Gintoki menyentuh pipi istrinya dan mengusap air mata Tsuki. "Maafkan aku, Tsukuyo. Dan terima kasih atas air matamu yang penuh cinta ini."

Gintoki memeluk istrinya dengan erat. "Aku tidak akan lama. Bersabarlah, aku akan pulang ke pelukanmu lebih cepat dari yang kau bayangkan."

***

Berlarilah, aku akan menunggumu.

Menangislah, aku akan merindukanmu.

Jemput aku, ingat-ingat wajahku.

Tersenyumlah, semua orang mencintaimu.

Bersyukurlah, karena kamu tak pernah sendiri.

Berdoalah, dan tunggu kepulanganku.

Cintai aku, karena aku akan selalu bernapas denganmu.

Tidur yang lelap, agar kau segera bertemu denganku.

Tsuki membuka kedua matanya. Dia menatap jam dinding, pukul 04.45.

Tsuki menoleh ke kiri. Dia meraih yukata Gintoki di sebelahnya, mengenakannya, dan berlari ke luar kamar.

Boots­ milik Gintoki tak terlihat. Pedang kayu Gintoki juga tak ada di bawah meja. Tsuki membuka pintu depan dan berlari ke luar. Tak ada siapa pun di sana.

"Aku mohon," gumam Tsuki. "Tidak secepat ini."

Tsuki berlari masuk ke dalam. Dia membuka pintu semua ruangan, mulai dapur hingga kamar mandi. Gintoki tak ada di mana pun.

"Aku mohon..." Tsuki berbisik pada dirinya sendiri. "Jangan dulu. Jangan pergi dulu."

Tsuki kembali ke ruang televisi dia kembali berjalan ke luar rumah dan mencari Gintoki. Dia tidak ada di sana.

"Gintoki!" Tsuki berteriak, tapi tak ada balasan.

Tsuki mundur perlahan, menutup pintu depan, dan berbalik. Dia membiarkan tubuhnya jatuh ke bawah sambil bersandar ke pintu. Air matanya mengalir deras, jantungnya berdegup kencang.

Gintoki sudah pergi, tanpa pamit.

Tsuki terus menangis. Cukup lama. Dadanya sesak. Pikirannya kacau. Dia mencoba mengatur napas, berdiri, dan berjalan ke arah sofa. Di atas meja, dia menemukan sesuatu.

Ada uang 1.000 yen, secarik kertas, dan kanzashi atau tusuk konde dengan ornamen bunga berwarna biru dan putih. Tsuki pun membaca kertas di samping kanzashi.

Beli meja baru, itu uangnya. Kartu ATM dan kartu kreditku ada di lemari baju.

Kanzashi-nya dipakai, jangan dipakai di depan Toshi, Katsura, dan Hasegawa-san.

PS: Jangan rindu, karena aku sudah rindu.

Tsuki duduk di sofa. Air matanya kembali mengalir. Dia bersandar dan menengadah.

"Baka," gumamnya sambil tersenyum tipis.

Die Another Day 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang