3

2 0 0
                                    

Daniel menonton televisi yang ada di ruang keluarga di rumahnya sambil menikmati kripik jagung yang baru saja dia beli di minimarket dekat rumahnya. Daniel menekan-nekan tombol remote televisinya mencoba mencari acara televisi yang menarik menurutnya. Hingga akhirnya Daniel berhasil menemukan chanel televisi luar negeri yang menayangkan acara music.

Rumah Daniel terasa sangat sepi di siang hari seperti ini. Papa dan mamanya sedang bekerja. Papanya pasti sedang berada di kantor perusahaan tempatnya bekerja sebagai manajer yang membawahi begitu banyak karyawan sedangkan mamanya pasti juga sedang sibuk dengan boutique yang dirintisnya sejak beliau belum menikah. Dita juga masih bersekolah di siang hari seperti ini. Hanya ada Daniel dengan Bi Tatik di rumah yang cukup luas itu, namun sepertinya, Bi Tatik juga tak ada di rumah, mungkin sedang berbelanja di pasar atau entahlah.

Tiba-tiba saja Daniel mendengar bel rumahnya berbunyi. Sepertinya ada tamu yang berkunjung di rumahnya. Sekali, dua kali, tiga kali bel berbunyi dan masih saja belum ada yang membukakan pintu untuk orang tersebut. Sepertinya memang benar bahwa Bi Tatik memang tak ada di rumah. Dengan malas, Daniel kemudian bangkit dari sofanya berjalan sambil mengumpat lirih. Ia kemudian membukakan pintu untuk orang yang mungkin telah menunggu lama.

"Siang kak!" sapa orang tersebut yang adalah gadis dengan paras menawan begitu pintu terbuka sambil membawa sesuatu di tangannya.

"Siang, Van," kata Daniel dengan senyum canggungnya. Untuk sesaat Daniel menyesali umpatan yang keluar dari bibirnya saat Ia hendak membukakan pintu untuk gadis berkulit langsat dihadapannya ini. "Ada apa ya, kok kamu siang-siang ke rumah?"Tanya Daniel.

"Ini kak, tadi mama suruh aku buat antar kue ke sini," jawab Vania sambil menyerahkan box warna putih berukuran sedang yang berisi kue kepada Daniel.

"Wah, tante Rosi bikin kue lagi?" Tanya Daniel tanpa sadar sambil menerima kue dari tangan Vania.

"Iya kak, tadi mama bilang kalo lagi nganggur jadi mama bikin kue, kebetulan kuenya berhasil dan jumlahnya banyak, jadi dibagiin ke tetangga," jelas Vania tanpa diminta. "Kalo gitu, aku pamit dulu ya kak," kata Vania pamitan kepada Daniel.

"Iya, by the way makasih kuenya ya, Van. Sampein ke Tante Rosi ya," kata Daniel.

"Oke kak," kata Vania sambil membalikkan badan meninggalkan Daniel.

Daniel kemudian berjalan untuk kembali ke ruang keluarga. Ia duduk di sofa berwarna coklat tua itu. Meletakkan kue yang dibawa oleh Vania ke meja yang ada di hadapannya. Matanya memandang ke arah televisi tapi pikirannya sedang tak tertuju pada acara televisi yang tadi ditontonnya. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum bahagia.

Vania baru saja main ke rumahnya, membawa kue untuk keluarganya. Daniel tiba-tiba saja merasa bersyukur ketika bi Tatik masih berbelanja kebutuhan rumah tangga di pasar. Andaikan saja Bi Tatik masih ada di rumah, pastilah Daniel tak akan membukakan pintu dan bertemu dengan Vania seperti tadi. Vania merupakan sosok yang sudah lama dikagumi oleh Daniel. Perempuan cantik dengan kemampuan otak di atas rata-rata serta wajah manisnya mampu mengalihkan dunia Daniel. Daniel mengagumi sosok Vania sejak kali pertama Daniel berkunjung ke rumah Vania di saat hari pertama Vania pindah ke rumah yang bersebelahan dengan rumah Daniel. Namun sayang, sepertinya memang Tuhan tak mengizinkan Daniel untuk mendapatkan hati Vania, lantaran saat itu Vania sudah memiliki kekasih dan hubungan itu masih berlangsung hingga sekarang.


Dira menyalakan laptopnya, bersiap untuk menyusun untaian kata di sana untuk meneruskan kembali novel yang setelah beberapa hari ini belum disentuhnya lantaran tugas-tugasnya menumpuk dengan batas pengumpulan yang hampir bersamaan. Terkadang ada sedikit penyesalan di hatinya tatkala mengingat dulu betapa kuatnya kemauannya untuk berkuliah di jurusan Komunikasi.

Melanjutkan pendidikan ke strata sarjana memang dulu menjadi kemauannya. Namun kini, Ia merasa menyesal mengapa Ia dulu mau dengan senang hati merengek supaya dikuliahkan. Sekarang, setelah merasakan kesibukan sebagai anak kuliahan hingga terkadang membuatnya tak sempat untuk menulis dan menyuarakan isi otaknya dalam bentuk tulisan, Dira benar-benar menyesali keputusannya. Dulu Ia tak berpikir sampai sejauh ini. Namun Ia masih bersyukur, setidaknya saat ini Ia masih bisa menyumbangkan tulisannya untuk di publish oleh pers universitas dan fakultas tempatnya menuntut ilmu. Setidaknya dengan bergabung bersama pers mahasiswa aras fakultas, kini Dira selalu memiliki alasan untuk menulis di tengah-tengah padatnya perkuliahan.

"Dir, lo ngapain?" Tanya Nadia sambil mengetuk pintu kamar Dira.

Dira berjalan, hendak membukakan pintu untuk Nadia. "Kamu ngapain ke sini malam-malam?" Tanya Dira ketus setelah membukakan pintu untuk Nadia dan membiarkan Nadia memasuki kamarnya.

"Ih, lo galak banget sih, Dir sama gue," kata Nadia sembari duduk di atas kasur Dira. "Gue kan kangen sama lo," kata Nadia dengan wajah sok polosnya.

"Halah gombal kamu. Palingan juga kamu kesepian di rumah makanya ke sini," kata Dira sambil duduk di sebelah Nadia.

"Tahu aja lo," jawab Nadia terkekeh. "Eh, Dir, lo mau gue kenalin sama seseorang nggak?" Tanya Nadia.

"Mulai ya kamu, Nad," kata Dira, merebahkan tubuhnya di atas kasur.

"Ayolah, Dir untuk kali ini gue harap lo mau," Kata Nadia sembari menoleh menatap Dira.

"Gak, Nad. Sekali gak ya tetap gak," kata Dira kepada Nadia dengan menggelengkan kepalanya menolak tawaran Nadia. "Emang ini jaman Siti Nurbaya apa, jodoh-jodohan kayak begitu," kata Dira lagi.

"Kenapa sih, Dir selama ini lo selalu menolak setiap kali gue sama Leo mau kenalin lo sama cowok?" Tanya Nadia merebahkan dirinya di sebelah Dira.

"Tanpa aku jawab juga kamu udah tahu jawabannya sendiri, Nad," kata Dira pada Nadia.

"Mau sampe kapan lo berharap sama Adrian, Dir?" Tanya Nadia.

Dira hanya diam mendengar perkataan Nadia. Jauh di dalam lubuk hatinya, Dira tahu, Nadia benar. Ia memang tak seharusnya mengharapkan Adrian untuk saat ini, mengingat kini Adrian sudah menjadi milik Hana.

"Dir, dengerin gue. Adrian itu nggak pernah anggap perasaan lo. Dia mungkin Cuma anggap lo sebagai temannya dan gak lebih. Bahkan sekarang Adrian udah bahagia bareng Hana," kata Nadia sambil menatap Dira.

Dira hanya diam mendengar perkataan Nadia. Jauh di dalam lubuk hatinya Dira tahu, Nadia benar. Ia memang tak seharusnya mengharapkan Adrian untuk saat ini, mengingat kini Adrian sudah menjadi milik Hana.

MenemukanWhere stories live. Discover now