Dalam senyapan malam dingin, telah dibungkus satu sejarah yang hendak dilupakan selamanya.
Genangan merah mengisi setiap lubang pada jalanan sepi.
•••
Telah lima kali Arui menulis untaian sajak singkat tersebut. Sajak yang setiap katanya terus terbayang dalam pikiran, terembus selalu beriringan dengan napasnya yang teratur. Hah.
Bagaimana dengan Puteri Mahligai?
Sejenak, pikirannya ribut. Membayang bingkai kejadian di sana-sini, menghitung berapa lama sisa hari. Matanya tetap saja mengantuk, namun sorot tajamnya jelas berbeda. Mendadak, Arui khawatir dengan sang Tuan Puteri.
"Ah, bagaimana bisa aku lalai begini? Tuanku Saa telah menggenggam sumpahku, dan aku justru telah melakukan separuh kesalahan." Arui mengacak rambut, bulu penulis tergeletak di atas kertas.
Lonceng kecil yang ringan bergemerincing; dari seekor burung gagak pembawa pesan dari latar nun jauh di sana. Arui berpaling, menatap ke arah jendela---kelambu hijau pudar berkibar ringan tertiup angin dini hari. Kepak sayap gagak itu terdengar, menyekilas, hingga akhirnya bertengger di atas kepala Arui dengan nyamannya. "Aduh, apa, sih, ini!"
Arui mengibas tangan, mengusir gagak itu dari atas kepalanya. Risih. Gagak yang kelabakan, kini alih tengger di atas meja. Di atas kertas putih bernoda tinta legam, dengan pancabait tulisan Arui. Gemerincing singkat lonceng kecil di leher gagak kembali mengalihkan perhatian---tepat setelah Arui selesai merapikan rambut cokelatnya.
"Mau apa kamu ke sini?" Arui merendahkan badan, menyamakam tinggi antara netranya dengan netra fauna berbulu legam dan bersayap di depannya. Gagak hanya memiringkan kepala, ke kanan-kiri, jelas tidak mengerti.
Si pemuda mengusap wajah, menarik badannya yang semula condong ke depan. Dia menguap, ingin membuang kantuk yang ia rasa. Ketika mengusap mata, sekonyong Arui menangkap sesuatu yang diikatkan ... di kaki burung itu.
Seperti ... gulungan?
Atau barangkali ...
Siapa yang mengirimkan surat ini? Ke kamarku, pula.
"Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Arui menangkap gagak tersebut, lantas fokus melepaskan 'gulungan' di kakinya. Hanya terikat oleh benang wol warna merah dan putih, sangat mungkin untuk terjatuh ketika gagak ini terbang. Juga selingkar cincin emas putih dengan permata hijau yang melingkari gulungan kertas. Arui mengernyit. Akik?
Atau zamrud?
Kepak sayap burung kembali Arui dengar,
... dan gagak pembawa gulungan itu telah pergi, meninggalkan Arui seorang diri, dalam renda hening yang kentara. Pemuda itu, telak membisu. Kata-katanya bungkam semua. Hanya ada ia, secarik kertas dengan pancabait, dan gulungan kertas kecil yang misterius ini.
Juga cincin emas putih ini, yang Arui yakin harganya cukup untuk menghidupinya selama dua rembulan penuh.
Ssshh!
Arui membuka sedikit gulungan itu, membaca kata pertama, ditulis paling atas ...
◆
◆
◆
◇•◇•◇•◇•◇
Renda Asa
Kain sutera hijau tanda keindahan,
kipas dan mahkota yang dipakai sang Janger,
... telah sampai pada akhir hayatnya,
... meski tiada hari ini berjalan.Jalak indah akan berubah menjadi jalak penelan bangkai.
Sebelum itu, Raja Saa akan tumbang,
darahnya membasahi latar,
otaknya kelak berceceran,
miris netra akan berpaling darinya.Senyuman mahkota anggun akan pudar selama-lamanya.
Meninggalkan tanah itu,
separuh kehidupan dari
tanah burung surga akan mati,
... hanya menyisa cercahan asa yang sulit disatukan.Rona penuh warna kini hanya akan hancur, menjadi nuansa kelabu.
Tanah berempah akan segera dilibas,
remuk dan hancur tanpa utuh sepandang mata,
terkecuali mereka yang telah dititah akhirat.
Merintih dalam doa, pun akan dirasa sia-sia.Bayangan akan penderitaan dunia, mengaburkan nyata nirwana.
Tanah seribu pesona ada di Nusantara,
hanya sepertujuh wilayah nyatanya,
namun kekuasaannya melampaui luas negeri sendiri.
Tatakrama dan norma kehidupan manusia,
ialah citra nyatanya.
Walaupun ... sebentar lagi lenyap tanpa penerus.Pemimpin paling tegas dari segala tanah akan melarikan diri.
◇•◇•◇•◇•◇
◆
◆
◆
Fuh!
Pemantik api sederhana di atas meja, tiga jam lalu digunakan untuk menyalur api pada lilin minyak kayu yang barusan ia matikan. Hawa dingin menyelimuti, kentara rasa merinding yang lambat laun mulai menyambangi.
Keping cokelatnya lunglai menatap si Jaralakai yang terlelap di dalam sangkar, yang mana sangkar tersebut digantungkan oleh Galuh sejak delapan suryahari yang lalu.
Sring!
Dari netra, dia pasti menanti fajar; batas jelas perang berakhir ...
• e p i l o g i a n •
KAMU SEDANG MEMBACA
INCLUSION
Historical Fiction-Dia telah lupa untuk mundur!- Peperangan tidak pernah kami inginkan. Menetra semua yang kami sayangi telah pergi itu sakit. Menetra semua yang kami kasihi tewas mengenaskan itu lara. Demi memenuhi ego, para prajurit tempur menjadi tumbalnya. Terkis...