"Tetesan hitam itu melegami sebuwana tirta bening; mengotori, menistakan ... dan menidaklayakkannya semena-mena.
"Ialah tugas manusia ... untuk mencegah 'keping legam' itu agar tidak mengotori 'air' di buwana lebih dari ini."
.
...«~*o♦0♦o*~»...
____________________________Telah diceritakan semua kisah ...
Kala rembulan menampakkan diri seutuhnya, cakrawala malam pun benderang; meski tak secerah langit siang.
Awan-awan bergulung tipis di sana; di dekat sang ratu bulan. Suasana yang agak berawan ini ... pastilah membuat para petani di negeri berpikir, esok barangkali hujan.
Terlepas dari suasana cakrawala, kepakan sayap burung pun halus terdengar; tertangkap oleh liang telinga.
Amat syahdu. Begitu menenangkan walau sekejap.
Ternamun, kawanku, kukatakan satu hal padamu.
Pada malam hari ini, ada dua puteri: satu di angkasa sana, yang kini meratui para bintang ...
... dan satu lagi, ialah puteri dalam dekapan Ibunda; sang Mahligai kecil yang masih menguncup aura kewibawaannya, masih menunggu waktu.
Netra bulat itu menatap angkasa raya; sang Puteri mendongak, seraya membiarkan Ibunda menggerai kepangan rambutnya. Ia mencium bau melati; bunga putih kecil yang turut disematkan pada kepangannya pagi tadi. Sang Puteri mengambil satu, yang sudah layu dengan hitaman di sekujur bunga, namun tetap harum.
Sang Puteri menggumam dengan seukir senyum polos di bibir. Wanita bermahkota emas di belakangnya mengulumkan senyum; gumaman senang dari puterinya tertangkap liang telinga.
Beberapa saat terisi sunyi. Hanya desir angin yang terdengar menengahi. Jalan-jalan utama di dekat mereka pun sepi.
Sesaat, Ibunda merasa jenuh. Membuat beliau kembali mengingat kondisi kerajaan di seberang sana yang tertungkus lumus mempertahankan wilayahnya dari gempuran kerajaan lawan. Ibunda iba, pembayangan akan keadaan miris itu datang lagi, menyelinap dalam pikiran. Akhirnya, beliau mengutarakan satu pertanyaan yang dialamatkan untuk Sang Puteri dalam pangkuannya ...,
"PUTERI Mahligai, apakah tahu seperti apa dunia luar?"
Itu.
Ibunda mengutara pertanyaan tersebut, seraya mengusap-usap surai lembut sebahu milik puteri kecil yang duduk berpangku padanya.
Sang Puteri Mahligai mengangguk, tetap membiarkan Ibunda mengusap rambut sepinggangnya. "Dunia luar luas, Bunda. Penuh dengan orang-orang jahat," jawabnya polos, dengan kosakata yang amat terbatas.
Lantas, kalimat itu disambung, "Para penjaga nirwana pastinya menangis, Bunda. Nirwana kosong, sedikit penghuninya. Dunia jahat, manusia jahat." Ibunda tersenyum-dengan sesirat rasa miris hati-mendengar jawaban itu.
Kaubenar, Puteriku. Amat sangat benar.
Beliau menarik napas. "Puteri ... di dunia luar, bukan hanya orang jahat yang hidup. Masih ada orang-orang baik, tidak terhitung banyaknya, tersebar di atas Bumi," jelas Ibunda, kini menyisiri surai sepinggang puterinya dengan jemari, membuat beberapa helainya rontok; berjatuhan ke tanah. Melihatnya Ibunda jadi teringat satu tulisan lama yang pernah beliau baca.
Tenamun, sayang, sebelum sempat Ibunda mengingat sebait tujuh belas baris tulisan lampau tersebut, Puteri Mahligai telah menjawab; terbata-bata dengan banyak kosakata berulang dalam kalimatnya, "Tapi Puteri kerap melihat orang-orang jahat, Bunda. Keserakahan dan kejahatan ada di mana pun, membuat derita dan tangis di mana saja. Peperangan terjadi, membuat rakyat sengsara, dan membuat orang yang kita cintai menin-"
KAMU SEDANG MEMBACA
INCLUSION
Ficção Histórica-Dia telah lupa untuk mundur!- Peperangan tidak pernah kami inginkan. Menetra semua yang kami sayangi telah pergi itu sakit. Menetra semua yang kami kasihi tewas mengenaskan itu lara. Demi memenuhi ego, para prajurit tempur menjadi tumbalnya. Terkis...