Vote-comment follow jangan lupa!
_________________________
Megakobar api di angkasa,
membinasakan segala kehidupan.Mengerontangkan raga di lautan pasir,
hingga mati kekeringan,
juga mati legam.(Hingga pemukiman dan kerajaan berkobar ...)
(Lebih terang dari cakrawala ...)
(Perselisihan yang tidak mungkin lagi untuk dihentikan ...)Serakan tubuh, dan tawa kesedihan ...
... oleh pedang yang berkarat!
_________________________
...~*o0o*~...
•••Alangkah menyeruak rasa tenteram hati memenuhi relung kala gemintang menghiasi langit ketika malam itu, menunjukkan kirana mereka yang berkelipan. Suasana desa amat sepi, lampu minyak tanah di dalam setiap rumah, satu demi satu dimatikan. Anak-anak pergi tidur; dipaksa ibu dan ayah mereka untuk segera naik ke atas kasur, kemudian berpejam mata. Menuju pulau kapuk, menepati rasa kantuk.
Hoahm ...
Angin berembus perlahan, menyingkap dan mengibarkan kelambu warna merah di balkon. Mengirimkan rasa sejuk bagi smua orang di dalam ruangan—kamar tidur.
Hanya ada obor kecil di kedua sudut depan balkon yang memberikan penerangan di setiap kamar berbalkon, agninya menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi, namun tidak padam. Laksana kobar semangat perjuangan tanpa sudah yang akan terjadi satu milenium lagi.
Whush ...!
Tring ... Klinting ...
Trinting ... Ting ...
Mimbar pidato pemimpin kerajaan yang seharusnya lengang, kini berseling antara sunyi dengan debatan. Antara seorang raja dan satu puteri belia. Antara ayah dan anaknya, dua pemimpin negeri Bungong Jeumpa yang tersisa.
Memang seharusnya mimbar ini lengang, terdengar denting nyaring sesekali, dari genta angin di bawah mimbar yang bergerak-gerak selongsongnya. Saling beradu. Mencipta denting yang membawa kesan seram. Itu hanya seharusnya. Se-ha-rus-nya.
Namun, tidak dengan saat ini ...
"Ayahanda, benarkah hal tersebut? Ayahanda akan berangkat ke medan di garda terdepan?"
"Itu benar, Puteri. Aku akan membawa seribu pasukan bersenjata, dan pasukan berkuda dengan jumlah yang sama ke medan perang. Mempertahankan kekuasaan negeri Samantari, negeri di mana saudara dan saudari Ayah berada, Puteri." Tatapan Ayahanda menyayu.
"Jika benar, maka izinkanlah aku ikut serta dengan Ayahanda. Aku sudah berjanji dengan Ibunda; menjaga ayah dan takhta kerajaan agar tetap terlaksana sebagaimana mestinya ..."
"Tidak, tidak, puteriku. Tidak ada yang boleh ikut serta dengan Ayah," tegas beliau, memotong pinta puteri semata wayangnya dengan mutlak. Puteri Mahligai perlahan menunduk. Menatap jemari kaki, juga sepatu Ayahanda yang terbuat dari kulit—dengan bahan baja di ujungnya. Puteri ingat janjinya dengan Ibunda; wanita tangguh yang telah bertitah kepada dirinya.
"Abu ..." Puteri Mahligai memanggil. "Peuen Abu yaken cula-caloe ateueh nyoë?" tanya sang Mahligai. Lantas jeda. Hanya terisi denting nyaring genta angin yang bergoyang tertiup angin sepoi malam di area balkon.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCLUSION
Ficção Histórica-Dia telah lupa untuk mundur!- Peperangan tidak pernah kami inginkan. Menetra semua yang kami sayangi telah pergi itu sakit. Menetra semua yang kami kasihi tewas mengenaskan itu lara. Demi memenuhi ego, para prajurit tempur menjadi tumbalnya. Terkis...