7. Jangan Panggil Gue Damar

15.4K 1.2K 51
                                    

Kalau ada sesuatu yang lebih luas dari semesta. Lebih dalam dari lautan. Dan lebih tinggi dari langit ke tujuh. Yakinilah, itu cuma perasaan gue ke lo.

---

"Naya?" Tiba-tiba dahi Nata berkerut. "Lo udah inget tentang dia?"

"Bukan Renaya, tapi Naya adik kelas kita," ralat Nael kemudian, karena ia yakin, pasti Naya yang dimaksud Nata berbeda dengan Naya yang dimaksud olehnya.

"Yang tetangga gue?" tanya Nata lagi untuk sekedar memastikan.

"Iya."

"Ooh, pantesan," ucap Nata yang tidak lagi mengherankan. Karena itu artinya seseorang yang dia lihat memakai baju tersebut sebelumnya, itu pasti Kevin. "Tapi kok bisa ada sama lo?"

"Ceritanya panjang."

"Kak Damar!"

"Damar!"

Suara seseorang yang memanggil Nael dengan sebutan Damar tiba-tiba saja terngiang nyaring secara berulang yang hanya terdengar oleh telinga Nael. Dan berhasil menarik Nael ke dalam ingatannya. Sehingga Nael tidak sempat lagi membalik badannya untuk melihat siapa yang memanggilnya, karena Nael sudah keburu terhuyung akibat sakit kepala yang menyerangnya secara tiba-tiba.

Dengan cekatan Nata menahan tubuh Nael agar tidak ambruk di lantai. "El, lo kenapa?"

"Lho, Kak Damar!" Naya, seseorang yang memanggil Nael 'Damar' tadi, segera menghampiri Nael dan Nata. "Kak Damar kenapa, Nat?"

"Nggak tau. Dia suka tahu-tahu begini," tutur Nata.

"Argh!" Nael mengerang kesakitan dengan mata terpejam. Salah satu tangannya yang semula membawa paper bag, seketika terlepas, dan langsung terangkat bersamaan dengan sebelah tangannya yang lain, mencengkram kuat kepalanya sendiri.

"Damar!"

Saat menoleh, Nael melihat seorang perempuan berambut panjang dengan gaun indah selutut berwarna biru yang membalut tubuh mungilnya. Perempuan itu sedang duduk di sebuah ayunan sambil tersenyum ke arahnya. Tapi entah kenapa Nael tidak bisa melihat rupanya dengan jelas. Dari ujung kaki sampai kepala, semuanya nampak kabur. Meskipun sudah berkali-kali Nael mengucak matanya.

Baru saja Nael hendak mengambil langkah lebih mendekat, sesuatu membuatnya kembali melangkah mundur. Tidak mungkin. Bagaimana bisa dia melihat dirinya sendiri di sana. Berdiri di belakang perempuan itu, tertawa bersama dengan perempuan itu, sambil mendorong ayunan yang diduduki oleh perempuan itu. Sangat tidak logis bagi Nael, ketika ia bisa melihat dirinya dengan jelas, tetapi tidak ketika ia melihat perempuan itu.

"Jangan kencang-kencang, dong! Ntar aku jatuh, gimana?" protes perempuan itu sambil tetap tertawa.

"El!" Setelah berkali-kali Nata memanggil dengan mengguncangkan tubuh Nael, barulah bayang-bayang itu menghilang. Membuat Nael akhirnya mampu membuka matanya secara perlahan.

"Perlu ke UKS nggak?"

Pertanyaan Nata itu seketika membuat Naya berdecak sebal. "Lo gimana, sih, Nat. Pake ditanya, lagi. Ya perlu-lah."

"Nggak usah." Nael menggeleng pelan. "Gue nggak apa-apa."

"Yakin, Kakak nggak apa-apa?"

Nael diam tidak menggubris pertanyaan Naya. Cowok bermata cokelat itu terlalu sibuk dengan pikirannya yang membuat telinganya seakan tertutup rapat. Sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepalanya. Apa mungkin ini alasan mamanya mengganti nama panggilannya semenjak ia terbangun dari koma? Tapi kenapa dengan mendengar nama depannya sendiri bisa membuat kepalanya sampai sesakit ini?

Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang