Part 14

564 46 9
                                    

"Mantan pacar?" Aulia mengulang ucapan Nassar untuk memastikan apa yang baru saja dikatakan suaminya.

Nassar mengangguk, "Sebenernya dulu sekali aku menyukai seorang wanita. Wanita muda yang bisa dibilang adalah penyelamatku. Tapi . . ." Nassar tiba-tiba tak melanjutkannya.

Aulia ikut diam menunggu kata-kata selanjutnya Nassar.

"Oh, maaf Aulia. Aku rasa kamu ga perlu tahu bagaimana masa lalu aku. Yuk aku anter istirahat." Tawar Nassar.

"Tapi apa a? Aulia masih mau denger lanjutannya."

Nassar berbinar karena Aulia mau mendengar ceritanya. Ia lalu mendorong kursi roda Aulia agar mendekat dengan sofa. Ia lalu mengunci kursi roda itu dan duduk di sofa sambil menghadap Aulia.

"Bener kamu mau dengerin?"

Aulia mengangguk yakin.

"Bertahun-tahun yang lalu aku suka sama seorang wanita, tapi karena keterbatasan aku dulu aku tak bisa mengungkapkan rasa cinta. Aku kehilangan dia. Dia pergi dan aku tak tahu kemana ia pergi. Hari-hari berlalu. Aku sama sekali tak bisa melupakan wanita itu, namun tak ada yang bisa dilakukan karena aku tak pernah bisa menemuinya lagi. Atas saran dari seorang teman, aku lalu mencoba mencari cinta lain. Orang-orang bilang jika cinta hanya bisa disembuhkan dengan cinta lain. Aku lalu mulai menerima cinta Sofia, tapi aku sama sekali tak bisa melupakan wanita yang aku cintai dulu. Saat aku meminta putus, ia tak terima dan mulai menggangguku."

"Lalu bagaimana dengan wanita yang Aa suka sekarang?"

"Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengannya."

"Bukankah kesempatan untuk mengungkapkan rasa suka aa?"

"Sayangnya aku melakukan sesuatu yang tak termaafkan padanya. Ditambah lagi ku rasa dia sudah memiliki kekasih yang dia cintai dengan sepenuh hatinya." Nassar tersenyum getir.

"Minta maaf, a. Kalo Aa punya salah minta maaf sama dia. Perjuangin cinta Aa."

Nassar tersenyum, "Harus diperjuangin ya?"

"Aa orang yang baik. Pantas dapat orang yang baik"

"Aku cukup bahagia melihat dia senang dengan orang yang dia sukai. Ayok istirahat udah malam." Nassar mencoba mengalihkan pembicaraan.

Aulia memegang tangan Nassar, "Apa karena Aulia?" tanya Aulia.

"Maksudnya?"

"Apa Aa ga mau perjuangin cinta Aa karena Aa merasa memiliki tanggung jawab sama Aulia dan ga mencoba bahagia?"

Nassar menggeleng, "Bukan, bukan karena Aulia. Aku Cuma mau melihat dia bahagia."

"A, perjuangin cinta Aa. Sudah cukup. Aulia tahu bagaimana Aa berusaha bertanggungjawab sama keadaan Aulia. Aulia sudah tahu sekarang, tak ada yang perlu disalahkan atas kecelakaan Aulia. Aa tidak salah. Semua murni kecelakaan dan karena takdir Allah. Jadi Aulia bersedia secara sukarela melepas beban dan tanggungjawab Aa. Ceraikan Aulia, A. Aa berhak bahagia."

Kata-kata Aulia sama sekali tak membuat Nassar senang, malah kesedihan yang merundung Nassar. 'Andai kamu tahu, dek. Wanita yang selama ini aku cintai dari sejak bertemu sampai sekarang adalah kamu. Jika aku harus berpisah dengan mu sekarang. Bukan beban yang kamu lepas dari diri aku tapi kesedihan yang kamu berikan.'

Jarak dari ruang tamu ke kamar masih cukup jauh. Namun Nassar tiba-tiba bersimpuh di hadapan kursi roda Aulia.

"Aa gendong dari sini aja ya?"

"Lho kenapa? Kamar Aulia masih jauh."

"Gak papa kan?" Tanpa menunggu izin Aulia, Nassar langsung mengangkat tubuh Aulia. Aulia lalu melingkarkan tangannya ke leher Nassar. 'Ah getaran itu lagi. Sudah beberapa waktu ini Aulia merasakan getaran berbeda ketika A Nassar bersama Aulia. Perasaan apa ini sebenarnya?' Aulia memandang wajah Nassar yang kini hanya berjarak beberapa senti. Nassar balik menatap Aulia sambil tersenyum. Dan Aulia segera mengalihkan pandangannya.

@ @ @

"Besok kita ketemu Dokter spesialis dari Jerman ya. Aku udah bikin janji."

Aulia mengangguk, "A, Aulia mau jalan-jalan keluar hari ini. Boleh?"

"Boleh, ajak mba Tiwi juga ya. Aku ga bisa temenin soalnya harus ngantor. Gak papa?"

"Iya gak papa."

"Aku pamit yaa.."

Aulia lalu mencium tangan Nassar. Nassar lalu memegang kepala Aulia. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Nassar pergi. Aulia lalu segera bersiap keluar. Mba Tiwi dengan teliti mengurus keperluan Aulia.

"Mau kemana sih, Non?"

"Aku pengen jalan-jalan keluar kompleks aja mba. Repotin ngga?"

"Ngga kok Non, santai aja."

Mba Tiwi lalu mendorong santai kursi roda menuju keluar. Setelah sampai keluar kompleks. Mereka lalu diam sesaat.

"Astagfirullah, non. Mba lupa tadi setrika kayaknya masih belum dicabut." Mba Tiwi lalu memegang saku bajunya berharap membawa ponsel. "Non, bawa ponsel ngga?"

Aulia menggeleng.

"Non, boleh tunggu sebentar ngga. Mba lari mau cabut dulu setrikaan."

"Iya mba gak papa kok, Aulia bisa tunggu disini."

"Bentar ya, non." Mba Tiwi lalu berlari. Aulia sampai tertawa melihat mba Tiwi yang berbadan cukup tebal itu berusaha berlari sekencang yang ia bisa.

Setelah mba Tiwi tidak terlihat lagi. Aulia lalu menyibukkan diri untuk memperhatikan grafiti yang ada di dinding-dinding sekitar pintu keluar kompleks.

Beberapa pemuda yang sedang berdiam disekitar jalan terpesona dengan kehadiran Aulia. Mereka saling tersenyum dan dengan isyarat kepala mereka berdiri untuk mendekati Aulia.

Aulia menyadari jika ia menjadi pusat perhatian segerombolan laki-laki. Aulia mencoba memajukan kursi rodanya namun tertahan karena kelompok laki-laki itu mulai melingkarinya.

"Mau kemana cantik? Buru-buru amat. Main sama Kakak yuk!" ujar seorang pria bertopi sambil menahan laju roda Aulia.

"Iya daripada sendirian mending ikut kita. Kita ajakin nonton. Gimana?"

"Aku mau pergi, permisi." Aulia mencoba memajukan kembali kursi rodanya, namun gagal karena kini pria lain memegang kursi rodanya sehingga ia tertahan di tempat.

"Gak usah malu-malu yuk ikut." Pria bertopi membalikkan arah kursi roda Aulia dan bersiap mendorong kursi Aulia.

"Berhenti tolong. Aku udah nikah."

"Hah? Udah nikah? Hahaha." Pria bertopi tertawa karena tak percaya dengan ucapan Aulia.

"Cari alasan lain kali non, segitunya ga mau pergi ma kita." Ujar pria besar berbaju putih.

"Yuk jalan."

"Bentar lagi suami aku dateng. Jangan gerakin kursi rodanya. TOLONG A NASSAR." Aulia reflek menyebut nama A Nassar.

BRUK, sebuah tendangan sukses membuat pria besar berkaos putih terjerembab.

"Suamimu disini, Aulia." Ujar suara seorang pria yang baru saja melancarkan sebuah tendangan.

Pria-pria itu segera berlarian ketika melihat siapa yang baru saja menendangnya.

"A Nassar?" Aulia seakan tak percaya melihat Nassar tiba-tiba berdiri dihadapannya.

"Kamu gak papa?" Nassar bersimpuh agar tingginya bisa sejajar dengan Aulia.

"Bukan . . . nya . . . tadi A . . . a . . .uda . . . h per...gi . .?" ucap Aulia terbata karena air matanya tiba-tiba saja mengalir.

"Jangan nangis. Kenapa nangis? Ada yang sakit?"

Aulia tidak menjawab dan memilih memeluk Nassar yang berada di depannya. Nassar mendekap Aulia dan mengusap punggungnya pelan, "Gak papa jangan nangis, Aa ada disini ya. Semuanya baik-baik saja."

Mba Tiwi yang baru saja tiba terbengong-bengong ketika melihat pemandangan di hadapannya. Keringatnya masih bercucuran karena berusaha berlari secepat yang ia bisa. Ia mendekat ke arah Aulia dan Nassar.

bersambung . . .

NB: Mimin udah update Nalia ya, jadi kalo mimin update Marci jangan pada marah yaa . . . ^^ Jangan lupa vote n komen . .. follow IG mimin juga yaa (@beauty_rainbow18) . . . makasih . . .

Between Love and HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang