Part 15

516 41 6
                                    

Aulia meminum air putih yang dibelikan Mba Tiwi, setelah itu Mba Tiwi menjaga jarak dengan kedua majikanya itu untuk memberikan mereka ruang pribadi.

"Gak papa kan? Ga ada yang sakit?" tanya Nassar lagi sambil merapihkan rambut Aulia yang sedikit berantakan tersibak angin.

"Gak papa kok." Aulia masih menyisakan sedikit isak sisa tangis tadi.

"Baguslah, alhamdulillah."

"Aa bukannya udah berangkat ke kantor tadi?"

"Iya, Aa balik lagi karena ada berkas yang ketinggalan. Kebetulan Aa kok tumben pengen ambil berkasnya sendiri ga minta Om Budi ambilin. Ternyata firasat Aa kuat juga ya?"

"Makasih ya, A."

"Kok makasih? udah jadi kewajiban suami menjaga jiwa dan raga istri tersayang." Nassar terdiam sebentar karena merasa salah bicara, "Ya, maksud Aa kita tetap suami istri yang sah kan? Di mata hukum dan agama? Masih bisa disebut suami istri kan? Jangan jadi beban yaaa, Aa cuman asal bicara."

Aulia mencerna kata-kata Nassar, ia sedikit aneh ketika Nassar menanyakannya. Tentu saja dia adalah istrinya Nassar. Aulia juga baru sadar jika saat terdesak, nama Nassarlah yang keluar dari mulutnya bukan nama yang lain. Aulia merasa jika Nassar sudah menjadi salah seorang yang memiliki arti tersendiri dalam pikirannya.

@ @ @

Aulia dan Nassar duduk di ruang tunggu. Dokter dari Jerman yang sudah membuat janji dengannya sedang menerima tamu lain sehingga mereka harus sabar menunggu. Nassar sangat maklum karena keperluannya di Indonesia selain menghadiri seminar, dokter tersebut juga pasti memiliki berbagai kesibukan. Nassar sudah cukup senang ketika Dokter itu mau menemuinya untuk berkonsultasi tentang kondisi Aulia.

Tak lama kemudia asisten dr. Franklin datang dan mempersilahkan Nassar dan Aulia untuk masuk. Nassar langsung menjabat tangan dr. Franklin yang terlihat ramah walau rambutnya sudah tidak banyak lagi.

Aulia hanya diam saja karena Nassar dan dr. Franklin bercakap-cakap dengan bahasa jerman. Hanya beberapa yang ia mengerti ketika Nassar sesekali menggunakan bahasa inggris.

"Rekam medisnya sudah di emailkan pihak rumah sakit kan, dok?"

"Iya betul saya sudah menerimanya."

"Bagaimaan dokter apakah memungkinkan jika dilakukan operasi lanjutan untuk penyembuhan?"

"Nyonya Aulia mengalami kerusakan cukup parah di sekitar tulang punggung dan ekor. Terutama tulang ekor yang menjadi tempat banyaknya saraf berada. Saya sudah berkonsultasi dengan dokter saraf yang cukup terkenal di Jerman. Saya rasa . . ."

Aulia sibuk mengamati ekspresi Nassar. Ia sudah putus asa untuk mencoba mengerti apa yang mereka bicarakan. Aulia memilih akan menanyakannya nanti kepada Nassar setelah semua perbincangan mereka usai.

Pertemuan antara Nassar dan dr. Franklin berlangsung tidak lebih dari satu jam. Setelah pertemuan itu. Nassar mengajak Aulia untuk berjalan-jalan di sekitar taman sambil menikmati pemandangan malam.

"Jadi gimana, A?"

"Hmm?"

"Apa kata dokter dari Jerman itu?"

Nassar menghentikan laju kursi roda dan bergerak menghadap Aulia. Nassar bersimpuh dengan kakinya untuk mensejajarkan dirinya. Ada wajah sendu namun menyembunyikan misteri yang bisa ditangkap Aulia dari ekspresi Nassar.

"Adek yakin mau dengerin?"

Aulia mengangguk, "Aku udah siap dengerin apapun. Termasuk jika kabar buruk yang bakal Aul denger."

"Oke. Kita cari tempat yang nyaman ya? Aulia mau makan apa?"

Aulia bisa merasakan jika Nassar sepertinya akan memberikan kabar buruk. Aulia berusaha memberikan senyuman untuk Nassar. "Apa aja kok, A."

Nassar lalu mulai mendorong kursi roda Aulia kembali. Sepanjang perjalanan Nassar hanya diam.

Hidangan sudah tersedia. Nassar masih diam enggan menyentuh makanan. Aulia berusaha menetralkan suasana. Ia menyodorkan minuman pada Nassar. Aulia masih mempertahankan senyuman di wajahnya ia berusaha memberikan kekuatan pada Nassar untuk mengatakan apa yang terjadi saat pertemuannya dengan dr. Franklin. Aulia seakan ingin menunjukkan jika ia sudah siap menerima berita apapun termasuk jika kondisinya sudah tidak ada harapan untuk sembuh.

"Mereka mau mencoba operasinya." Buka Nassar namun matanya menunduk seakan enggan menatap Aulia.

"Bukannya ini berita bagus, A? Aulia ada kesempatan sembuh kan?"

"Masalahnya . . ."

"Kenapa, a?"

"Ada resiko yang cukup besar dari operasi ini." Nassar mulai memberanikan diri menatap Aulia.

"Resiko? Apa itu?"

"Operasi yang akan dilaksanakan adalah operasi cukup besar dengan campur tangan dua dokter ahli. Orthopedhy dan saraf. Dr. Franklin bilang jika . . ."

"Jika?"

"Paska operasi, ada dua kemungkinan yang terjadi." Nassar diam sebentar, "Jika sukses, maka Adek bisa kembali berjalan dengan bantuan fisiotheraphy berkelanjutan. Tapi . . ."

"Tapi apa a?" Aulia tidak sabar.

"Jika gagal, bisa menyebabkan kelumpuhan total."

"Total? Apa bedanya dengan kondisi Aulia sekarang?"

"Aulia, walau aulia tidak bisa menggerakkan kaki. Tapi saat ini kaki aulia bisa merasakan sakit kan? Jika membentur benda lain?"

Aulia mengangguk, memang walau tidak mampu menggerakkan kakinya, Aulia masih bisa merasakan nyeri jika kakinya tidak sengaja terbentur benda tumpul.

"Jika operasinya gagal, maka kamu akan lumpuh total. Keadaan yang akan menyebabkan Aulia mati rasa. Tidak akan merasakan apapun. Aulia bakal merasa kaki itu ada tapi tidak ada."Nassar kembali menunduk. Ia merasa menjadi orang yang menyebabkan semua hal ini terjadi. Dia pesalah yang patut dihukum.

Semua senyum dan ketabahan yang dibangun Aulia rasanya hancur seketika. Ia tidak ingin lagi menyalahkan siapapun apalagi Nassar yang sudah berkorban banyak. Namun ia juga tak sanggup menyembunyikan kekecewaan yang ia dengar. Air mata Aulia berlinang tanpa diminta.

@ @ @

Sejak sarapan pagi Aulia meminta Mba Tiwi untuk membiarkannya tetap di tempat tidur. Bahkan makan pagi juga diantarkan ke kamar. Aulia diam sambil memandang keluar jendela, merenung.

Nassar yang khawatir langsung menuju kamar Aulia, ia mengetuk perlahan namun tidak ada jawaban. Nassar akhirnya memberanikan diri untuk membuka langsung pintu kamar Aulia. Ia bisa melihat Aulia yang tak terganggu dengan kehadirannya, lebih tepatnya tidak sadar jika Nassar sudah masuk ke kamarnya.

"Ehm."

Aulia lngsung melirik ke arah sumber suara. Aulia refleks menghapus air matanya yang mengalir. Aulia tersenyum tapi Nassar terlanjur tahu jika Aulia baru saja menangis.

"Hari ini kita jalan-jalan ya?" pinta Nassar.

"Aa ga ke kantor?"

Nassar menggeleng. "Aa minta mba Tiwi bantuin kamu ganti baju ya?"

Nassar lalu pergi setelah sebelumnya mengusap kepala Aulia.

Begitu sampai diluar ruangan, Nassar langsung menghubungi sekretarisnya, "Om Budi, batalin semua jadwalku hari ini. Kalo ada pertemuan untuk bahas pembukaan hotel baru, Om wakilin saya saja. Nanti yang bertanggung jawab suruh kirim persentasinya via email dan detail pendapat board tolong dinotulenkan secara detail."

Setelah selesai memberi perintah, Nassar lalu mencari Mba Tiwi untuk memintanya membantu Aulia untuk bersiap.

bersambung . . .

NB: Maaf ya agak lama update- nya . . . masih ada yang nunggu kan?

Vo-men jangan lupa ya, follow juga WP n IG mimin . . .^^ makasih

Between Love and HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang