Dulu, Aku Benci.

20 2 0
                                    

Pernah suatu waktu aku membenci senyuman yang ada di wajahku. Karenanya aku menjadi pembohong utama dalam menyembunyikan rasa sakitku. Aku pajang senyum setiap waktu agar lukaku terkamuflase dengan sempurna dari tatapan mereka. Agar hatiku juga terkena dampaknya dan seketika menjadi bahagia.

Namun, ketika itu aku sadari satu hal. Kebohongan terbesar yang kulakukan adalah dengan membohongi diriku sendiri.

Lalu aku berhenti memamerkan senyumku lagi. Kutahan ia agar tidak menjadi topengku. Kupasang wajahku yang sejalan dengan rasaku. Aku menangis sesuai dengan kesedihan yang kuderita. Aku mengeluh akan peliknya dunia.

Kemudian, aku membenci tangis. Karenanya aku terlihat lemah di hadapan mereka. Aku seakan cengeng dan tidak mampu melakukan apa-apa. Aku sangat membenci air mata sejak itu.

Pada waktu berikutnya, datanglah kamu di hidupku. Seseorang yang mengajarkanku bahwa senyum dan tangis mampu berjalan beriringan. Menghiasi setiap hariku. Behagia dan sedih adalah satu paket lengkap yang menandakan jika aku masih punya perasaan.

"Ketika dunia membawa bunga ke hatimu, peluklah ia dengan senyuman terindah milikmu. Pun saat dunia menitipkan duri di sanubarimu, cabutlah ia perlahan dengan air matamu. Dunia memang bekerja seperti itu. Bagai magnet yang memiliki dua kutub berlawanan. Bagai air dan api. Keduanya memang tak sejalan tapi mereka hidup selaras. Begitu jugalah perasaanmu." begitulah kira-kira katamu dahulu.

Mulai saat itu aku mulai menjadi aku yang sekarang. Melakukan apa yang kuinginkan. Berekspresi sesuai kehendak hatiku. Meski sang guru sudah tidak lagi berjalan bersisian denganku.

Jakarta, 2018.

Catatan Pejuang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang