7

2.7K 204 2
                                    

Di tempat terpisah, Kazuo yang telah siap dengan hakamanya berjalan masuk ke sebuah aula kecil di tengah lapangan.

Di setiap sisi kosong tanah lapang, banyak alat bela diri yang sengaja digantung di ranting-ranting maple.
Kazuo melirik beberapa penjaga yang dengan sigap membersihkan benda-benda itu. Meski tak bicara, wajah mengeryit Kazuo sudah mampu membuat bawahannya gugup.

Kali ini, perjamuan makan malamnya terlalu mendadak. Pelayan bagian dapur terpaksa mengambil jatah bahan makanan untuk satu bulan. Bisa terlambat kalau harus berbelanja. Sedang tamu yang diundang juga tidak sebanyak kemarin.

"Dia datang?" Yuka berbisik pada Arai, adiknya sekaligus sepupu Kazuo yang duduk paling belakang.

Sudah banyak orang dan kedua gadis beryukata itu memilih untuk tidak berbaur dengan tamu lain.

"Hhhh...dasar tidak waras. Bagaimana bisa dia ingin cepat-cepat menikah lagi? Belum ada sebulan sejak kematian isterinya," gumam Arai menatap kedatangan Kazuo yang kemudian duduk di depan, menghadap para tamu undangan.

"Istri? Dia bahkan belum pernah menghabiskan satu malampun dengan wanita-wanita itu. Kazuo hanya menerima apa yang ayah beri." Yuka tertawa pelan, menutupi mulutnya dengan punggung tangan.

Sebenarnya bukan rahasia umum kalau Kazuo tidak pernah suka perempuan. Pria itu lebih memilih menghabiskan waktunya di gym atau tidur. Pada hari biasa, Kazuo sering melewatkan makan malam hanya untuk menagih hutang para pengusaha besar. Lalu di hari lain, ia akan turun langsung saat menjual beberapa senjata api. Alasan pajak dan penyelundupan yang melibatkan pejabat, membuat Kazuo terdengar seperti pria tanpa hormon testosteron.

Usianya belum genap 25 tahun, tapi banyak musuh tersembunyi yang menginginkan kematian Kazuo. Atau paling tidak, mereka ingin garis keturunan dari klan itto terputus. Kumpulan yakuza di bawah kendali klan itu dirasa cukup berbahaya untuk beberapa pejabat korup.

Hal itu terjadi karena selama puluhan tahun bekerja sama, banyak info berbahaya. Seperti kematian, kejahatan mutilasi dan pemerkosaan oleh para orang penting dalam pemerintahan.

"Dia datang! Aku sungguh penasaran...wanita seperti apa yang membuat Kazuo menentang ayah," kata Arai menepuk bahu Yuka agar kakaknya mengalihkan tatapannya ke arah pintu masuk.

Suasana yang semula berisik, berubah tenang dan fokus. Yuka menajamkan matanya, mulai menilai dari ujung kaki hingga atas kepala.

Tidak ada yang spesial. Calon istri Kazuo serasa hambar dan terlalu biasa. Tubuhnya kurus, berkulit pucat dan bahkan tidak seksi sama sekali. Tulang lehernya bahkan terlihat seperti patahan bambu kering.

Ya, penilaian Yuka tidak objektif. Ia benci mengatakannya, tapi sudah lama gadis itu diam-diam menyukai sepupunya. Setiap ada kesempatan Yuka selalu mengacau. Ia bersyukur ada seseorang yang dengan sukarela membunuh para istri Kazuo.

"Lambat," kata Kazuo memberi isyarat agar Yui segera duduk di sampingnya. Yukata hitam bersulam perak yang Yui pakai terlihat pas, seakan dijahit khusus untuknya.

Padahal, itu adalah bekas dari dua istri Kazuo. Semuanya mati setelah lewat dua hari pernikahan. Tidak ada penyelidikan. Kazuo malas berurusan dengan polisi dan menghadiri persidangan. Dengan otoritasnya, kasus pembunuhan akan berubah menjadi sakit flu biasa.

"Aku kelaparan lalu menghabiskan satu panci rumput laut. Ampasnya hampir tidak ada dan perutku hanya penuh air gula." Yui berdecak, menata kakinya agar ujung yukata yang sempit tidak mengganggu kenyamanan.

Kazuo menghembuskan napasnya, kesal. Dari semua gadis yang pernah ada di dekatnya, Yui adalah satu-satunya yang bersikap paling seenaknya.

Namun, ia yakin, gadis itu akan berubah dalam satu hari. Para tetua punya aturan untuk mengekangnya dengan puluhan batasan tak masuk akal.

"Baiklah, karena semua sudah berkumpul, aku akan mengatakan sesuatu." Kazuo membuka suaranya, menyuruh para pelayan mulai menyajikan teh hijau di baki-baki terbuka.

Para tetua termasuk Mosei saling berbisik, mengutarakan beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian terlihat tidak begitu peduli. Pernikahan tidak lebih penting dari sebuah kelahiran. Siapapun wanita yang dipilih seorang pemimpin, bawahan hanya akan memberi penghormatan berdasarkan kasta yakuza si perempuan.

"Dia adalah Yui Miura. Anak dari Matsumoto Miura. Kalian pasti ingat karena ayahku pernah punya urusan penting dengannya dulu." Kazuo melempar tatapannya ke seluruh penjuru ruangan itu.

Tidak ada yang terkejut. Mungkin, tadi Mosei lebih dulu bicara pada semua orang.

"Dia anak dari si penipu itu," bisik Arai tidak bisa menghindari keterkejutannya. Yuka mencibir, mengelap ujung hidungnya yang tiba-tiba berair. Rasanya lucu membanggakan anak dari Yakuza penipu. Meski dihormati di daerah Kanto, semua orang tahu Matsumoto Miura banyak memiliki hutang. Di akhir hidupnya, yakuza di bawah kendali klan Miura dinyatakan bangkrut dan bubar.

"Jadi? Apa kau yakin keturunan Miura bisa sepadan dengan kita?" celetuk seseorang mengganti keheningan dengan kegaduhan. Di sisi lain, Yui mulai terpancing. Ia bingung kenapa latar belakangnya begitu penting. Yakuza bukan bangsawan atau anggota kerajaan. Secara kasar, mereka hanya kumpulan sampah yang dilatih agar bisa mengolah perkelahian menjadi bisnis ilegal.

"Boleh aku bicara?" Yui mengangkat wajahnya, menatap semua orang tak terkecuali Kazuo. Pandangan pria itu langsung mengeras. Amarahnya memang mudah terbakar untuk hal-hal kecil dan kadang, lebih mirip seorang psikopat.

"Asal kau tahu, statusmu bukan calon istri terhormat. Di sini kau hidup untuk melunasi seluruh hutang ayahmu. Di hadapan para tetua juga keluargaku, aku Kazuo Itto, meminangmu sebagai pelayan sekaligus teman tidurku. Statusmu bukan apapun. Kau hanya didudukkan agar seluruh penghuni rumah tahu, mereka tidak harus menunduk atau mengikuti perintah sekecil apapun dari mulutmu," kata Kazuo membeliakkan matanya.

Yui speechless. Mulutnya bergetar hebat, kesal sekaligus bingung.

Diperlakukan sebagai penjahat, lebih baik daripada kantung sampah. Bagaimana bisa putri dari seorang Yakuza diperlakukan seperti kain pel?

Di barisan belakang, Yuka dan Arai melongo, tak percaya akan ucapan kejam Kazuo. Sebrengsek apapun, baru sekarang kalimat sekejam itu terdengar dari mulut sepupunya.

"Gadis itu pasti membuatnya kesal," ucap Arai menatap Yuka yang hanya diam dan masih menatap penasaran. Emosi seperti itu sangat jarang keluar. Meski biasa menekan perasaan orang lain, temperamen Kazuo cenderung datar.

"Kalau begitu kita harus membuat perincian untuk pelunasan hutang." Yui berusaha membuat wajahnya setenang mungkin. Kazuo telah memandangnya rendah di hadapan semua orang, kini gilirannya untuk membuat kesepakatan. Harga diri? Yui sudah membuangnya. Melawan yakuza hanya butuh rasa bebal.

"Apa kau sedang bertransaksi? Menjual diri?" Mosei hampir mengigit lidahnya, tak percaya.

Yui tersenyum sinis," kalianlah yang memaksaku. Apa aku harus diam? Menangis? Aku hanya ingin memastikan kalau hutang ayahku sepadan dengan apa yang aku lakukan."

Kegaduhan langsung terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Yuka tertawa hambar, menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan betapa berani dan liciknya Yui. Wanita itu berbahaya. Seperti minyak tanah yang bersiap disandingkan dengan api, mereka hanya perlu menunggu Kazuo terbakar.

~1032.




My Husband is YakuzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang