Sekolah Yui tidak jauh dari pusat kota. Dari jendela kelasnya, kadang saat tiba festival musim gugur, bianglala terbesar terlihat sangat jelas. Tapi, kali ini tidak. Entah karena sedang ada perbaikan atau di pindah ke tempat yang lebih baik. Yang jelas, kebahagiaan kecil itu, sudah lenyap.
"Ada perebutan lahan di sekitar Tokyo center. Taman hiburan pindah ke seberang stadion baseball," kata Kaede meletakkan bungkusan penuh roti ke atas bangku milik temannya itu. Tebakan itu memang tepat sasaran, seakan apa yang dipikirkan Yui tercetak jelas di wajah.
Yui tak menyahut. Persahabatannya dengan Kaede sudah lebih dari 5 tahun. Waktu SMP, Yui dikenal sebagai penjaga Kaede. Si gadis payah, jelek tapi kaya raya. Mungkin ada banyak celah untuk memanfaatkan kedekatan mereka. Tapi, Yui tidak melakukannya. Baginya, uang adalah hal kotor. Akan ada banyak kesalahpaman saat persahabatan diisi dengan hutang piutang.
"Minggu ini mau kemana? Kita bisa belajar lagi? Bagaimana kalau ke perpustakaan di luar kota Sekalian jalan-jalan."
Mendengar kalimat minggu depan, mood Yui berubah buruk. Roti anko kesukaannya mendadak pahit dan terasa keras di tenggorokan.
"Ibuku pasti tidak akan suka kalau aku meninggalkannya terus-terusan. Minggu ini aku akan menemaninya. Terapi di rumah sepertinya cukup menyenangkan," kata Yui tersenyum kecil. Sudut bibirnya yang sengaja ditarik, membuat kesan getir. Walau curiga, tak ada satupun kalimat keluar dari mulut Kaede.
Gadis bertubuh kecil itu hanya pura-pura mengangguk dan memilih untuk tidak bicara lagi. Sebenarnya ia tahu pekerjaan Yui. Tapi, keterbatasannya sebagai sahabat, membuat Kaede tidak bisa berbuat banyak. Ia pernah menegur dan berakhir dengan pertengkaran selama satu bulan.
Kehidupan seseorang adalah hak asasi pemiliknya, tapi teguran adalah bentuk kepedulian sesama perempuan. Ia yakin, setiap wanita yang menukar kehormatannya dengan uang, akan menyesal di kemudian hari.
Tidak. Tidak perlu selama itu untuk merasakan sebuah penyesalan. Wajah Yui menggambarkan sebuah kekhawatiran yang sangat dalam. Bibir tipisnya berulang kali digigiti, bernafas cepat lewat mulut lalu meminum jusnya hingga tandas.
"Yui san, apa kau baik-baik saja?" tanya Kaede menunjuk isi kaleng jus yang telah kosong. Wajah gadis itu mengernyit heran saat menyadari hal aneh.
"Ya, memangnya ada apa denganku?" balas Yui melempar pandangannya ke luar jendela. Lapangan basket di lantai satu memang selalu ramai, hanya saja meski tatapan matanya terarah ke sana, wajah Yui berbicara lain.
"Kau minum jus wortel."
"Apa? Jadi itu milikmu?" Yui mencecap ujung lidahnya yang kesat. Ia benci wortel. Bagaimana bisa salah ambil?
"Oh, ya ampun...,"gerutu Kaede terpaksa menghabiskan jus apel milik Yui.
"Maaf," gumam Yui menundukkan kepalanya sekilas. Sekarang percuma mengatakan ia baik-baik saja. Pandangan Kaede menyiratkan ketidak percayaan sekaligus geli.
---
Beberapa hari terakhir, adalah waktu paling berat. Seperangkat perawatan tubuh beraroma mawar, membuat Yui seperti barang dagangan yang tengah dipersiapkan. Kadang gadis berambut panjang itu menatap lekat-lekat wajahnya, berharap ia bisa melalui hari minggu seperti remaja lain. Bermain dengan pacar mereka dan menghabiskan uang kerja part time.
Namun hal itu mustahil. Tiap malam, suara rintihan ibunya seperti teror yang sudah dibebankan di pundak. Ia benci menjadi dewasa sebelum waktunya, tapi pergi menanggalkan kewajiban seorang anak adalah perbuatan tidak termaafkan.
"Moshi-moshi," kata Yui menyapa Mae yang menghubunginya malam-malam.
"Kau di rumah?" tanya Mae terdengar menghembuskan napas, seperti sedang merokok.
Yui tak segera menyahut. Ia berpaling pada pintu geser menuju ruang makan. Terlihat ibunya tengah duduk, mengamati acara tv. Walaupun syarafnya terganggu, indera pendengaran ny. Miura bekerja dengan baik.
"Kemarilah," ucap Mae. Setengah menekan. Suara hingar bingar khas diskotik menjadi background pembicaraan mereka. Yui merasakan firasat buruk.
"Pelanggan pertamamu...akan membayar tarif dua kali lipat. Jadi, berkemaslah. Kemari tanpa dandanan mencolok. Style kampunganmu membuat para pelanggan mengira sedang berkencan dengan wanita 30an."
Pip.
Tanpa membiarkan Yui bicara, sambungan telepon itu ditutup begitu saja.
Apa yang dimaksud Mae san itu, si pria pengantar barang? batin Yui berdiri bingung sambil melirik ibunya.Sudah terlalu larut untuk membuat alasan yang masuk akal. Jadwal keberangkatan bus pasti sudah berakhir sejak tadi. Beruntung, sepuluh menit kemudian, sang ibu sudah terkantuk-kantuk dan minta di antar ke kamar.
Malam itu, Yui berharap, Tuhan ikut terlelap agar dosa-dosanya tidak ketahuan.
----
Setengah jam kemudian, Yui yang datang dengan sebuah taksi orange, berhenti di depan pub milik Mae. Ia sudah ditunggu dan uang transportasinya bahkan diganti. Sikapnya terkesan aneh. Seakan Yui bukan hanya akan dijual virginitasnya, tapi juga hal lain.
"Lihat, kau seperti pelacur seharga 10.000 yen." Mae mencengkeram bahu Yui, menuntun calon ladang emasnya menuju ruang rias.
"Dengar, apa pelanggan pertamaku itu pria yang mengantar barang darimu?"
"Apa itu penting? Selama punya uang, siapapun bisa memilikimu."
Kalimat lugas dan menusuk itu, memang bukan kebohongan, tapi tetap saja Yui terluka."Diamlah. Aku akan meriasmu." Mae mendudukkan Yui ke atas bangku paling tinggi. Sederet alat make up berjajar di sana.
Pasti bukan barang baru. Membayangkan banyak wanita yang memakainya untuk merayu hidung belang, membuat Yui mual. Apalagi setelah riasannya selesai, Mae menyodorkan gaun tipis berdada rendah.
---
Kamar hotel itu sangat luas. Karpet dengan kualitas bagus terhampar menutupi setiap sisi kosong lantai marmer. Di kanan kiri ruangan, ada sofa, lemari pendingin besar dan sebuah mini bar. Segalanya terlihat mewah dan elegan
Pantas saja Mae bersikeras menyuruhnya cepat-cepat bekerja. Penawaran hingga dua kali lipat, sangat jarang terjadi.
"Kau datang? Wah, cepat sekali. Apa kalian benar-benar menginginkan uang?" suara sinis dengan nada bass dan sedikit berat, terdengar dari belakang punggungnya.
Saat Yui berbalik, ia melihat sosok pria berbalut jubah kamar mandi. Tengah berdiri sambil membawa sekaleng bir di tangannya. Umurnya mungkin 25 tahun lebih. Di leher juga bagian atas dadanya, terlihat tatto warna merah bercampur hitam. Sekilas, ada kesan mengerikan di antara wajah asianya yang rupawan. Entah bagaimana menjelaskannya, Yui benar-benar spechless.
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Yui menatap langsung ke dalam mata si pria. Itu adalah tatapan yang sama dengan si pengantar barang.
Dengan mulut yang masih penuh minuman, ia mendekat dan sedikit bersendawa. Cara pria itu bertingkah, sama persis seperti seorang brengsek.
Yui seketika bad mood. Selain tidak di gublis, kesan tatapan pria itu, sedikit merendahkan. Seperti mata seorang pembeli yang tidak puas. Menusuk dan sinis di waktu bersamaan.
"Aku tidak memiliki gangguan impotensi. Tapi, wanita paling seksi sekalipun, tidak mampu membakar gairahku." Ia menuju ke arah ranjang, meletakkan minuman ke samping lampu meja.
Yui berdecak, mulai gelisah. Ia takut di minta melakukan hal ekstrim. Jika itu terjadi, mungkin pura-pura pingsan adalah yang terbaik.
"Kau hanya perlu menanggalkan bajumu di depanku. Lakukan apapun agar nominal pembayaranku setimpal." Mata pria itu menyipit, memberi isyarat agar keinginannya segera dilakukan.
Baiklah, semoga ia bukan psikopat gila.
_~~'1071.
Buat yang belum cukup umur, skip aja ya. Nggak usah baca😄
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband is Yakuza
RomanceMiura Yui harus rela menerima pinangan Kazuo Ito, seorang pria Osaka yang memiliki darah seorang Yakuza. Di usia 18 tahunnya, Yui mendapatkan banyak pengalaman buruk. Hingga sosoknya dituntut kuat dalam menghadapi perangai kasar sang suami.