"Terima kasih Mas Bayu," ucap Weni tersenyum penuh terimakasih pada Bayu yang banyak membantunya sore ini. Dimulai dari menelepon bengkel temannya, lalu mengantarnya ke bengkel dan mau menemani menunggu motornya sampai selesai.
Bahkan Bayu juga ikut membantu pekerja bengkel memperbaiki motornya agar cepat selesai. Banyak sekali hutang Weni pada Bayu hari ini, jika tidak ada Bayu, ia tak tahu harus bagaimana.
"Santai saja, Wen." Bayu membalas senyuman. "Kamu mau langsung jemput Tante atau mau ke mana dulu?"
"Langsung jemput Mama deh Mas, tadi aja udah di omeli
Kalau aku makin lama jemput, bisa-bisa sampai sana aku di sembur habis-habisan," kata Weni tertawa, mengingat ia harus menghindar dari Bayu saat menghubungi Mamanya memakai ponsel lelaki itu.Bayu terkekeh. "Namanya juga Ibu-Ibu, pasti selalu mengomel kalau kita salah dikit," ucap Bayu setelahnya.
"Pengalaman banget ya, Mas." Kekeh Weni.
Bayu mengangguk. "Mau bagaimana lagi, Ibu mas juga selalu begitu," ucapnya mengendikan bahu.
"Mas sih suka buat kesel orang tua."
"Kayak kamu enggak aja," balas Bayu membuat keduanya tergelak.
"Ya sudah Mas, aku pergi dulu. Sebelumnya terimakasih buat sore ini," ucap Weni menghidupkan motor miliknya.
"Perlu di temani gak?"
Weni tertawa, lalu menggeleng. "Enggak usah Mas, Aku gak mau ngerepotin lagi. Lagian udah dekat dari sini," ujar Weni, "Bye Mas Bayu." Weni melambaikan tangan sebelum menjalankan motornya.
Tiga puluh menit kemudian Weni tiba di toko Roti Queen. Belum lagi ia turun dari atas motor, suara omelan Mamanya sudah terdengar karna ia tak memakai helm.
"Enggak ada razia Mah, helm juga Weni bawa ini dalam jok," ucap Weni menepuk bagian samping motornya.
"Enggak ada Raziah juga kamu harus pakai helm, Weni! Kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana?" seru Mama masih memprotes.
"Panas Mah, lagian cuman 30 menit dari bengkel." Pembelaan Weni malah membuat sang Mama semakin marah.
"Dasar anak bandel, sekali lagi mama lihat kamu kayak gini, Mama buang kunci motor kamu," seru Mama Weni kejam.
Weni meringis. "Janji gak lagi," ucap Weni memasang wajah bersalah.
"Awas kalau diulangi." Weni nyegir, melihat tatapan tajam Mamanya. "Ya sudah ambil helm kamu, kita pulang." Weni menurut ia langsung turun dari atas motor dan membuka jok.
"Kamu gak bawa in mama helm?"
Pergerakan Weni terhenti selama beberapa detik, lalu dengan dramatis ia menatap ke arah sang Mama sembari menggelengkan kepala. "Lupa Mah," seru Weni menggaruk tengkuknya.
"Weni!!" jerit tertahan Mama. "Kamu ini ya," ujar Mamanya lagi gemas melihat tingkah Weni.
"Namanya juga lupa Ma, mau bagaimana lagi. Mama pinjam dulu ya, helm karyawan Mama. Nanti malam Weni anter helmnya kemari." Weni mencoba merayu Ibunya agar berkurang sedikit wajah bengisnya.
"Sebaiknya kamu cepat nikah deh Wen, supaya enggak semakin pikun. Mama gemas sendiri lihat kamu. Malah ceroboh lagi, haduhh." Weni cemberut saat pembahasan masalah helm berubah jadi masalah pribadinya.
"Ish... Mama," ucap Weni. "Weni aja deh yang pinjami helmnya," ujar Weni langsung meninggalkan Mama yang masih mengomelinya. Jika tidak cepat bergerak, Weni pasti akan sangat malu diomeli Mamanya di parkiran.
Setelah basa-basi dengan Desi, kasir toko roti Queen, Weni kembali keluar membawa serta helm pink milik Desi. "Ini punya Desi, Mama mau pakai helm ini atau punya Weni?" tanya Weni begitu tiba di depan Mamanya.
Mamanya tak mengatakan apa pun, wanita setengah baya itu hanya melirik sekilas sebelum mengambil helm milik Weni dan memakainya. Menyengir melihat tingkah sang Mama, Weni juga ikut memakai helm milik Desi
"Naik, Mah," ucap Weni. Setelah Mamanya menurut, Weni langsung menjalankan motor dengan kecepatan sedang.
"Kamu jadi pergi sama Bayu ke pernikahan Kiara?" Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja Mamanya menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya iya.
"Jadi Mah, kenapa?" tanya Weni menurunkan laju kendaraan agar ia bisa mendengar jelas jawaban sang Mama dan juga Mamanya tak perlu berteriak saat ingin berbicara.
"Itu Bayu belum punya pacar ya? Mama perhatikan kalian sering jalan bareng akhir-akhir ini," ucap Mama, "atau kalian memang udah pacaran?" Tebak Mama yang salah besar.
Weni menggerutu, belum sempat ia mengeluarkan suara. Mamanya sudah kembali berbicara.
"Kalau memang kalian pacaran, bilang sama Bayu jangan lama-lama pacarannya. Usia kamu sama dia udah dewasa, sudah sepantasnya kalian menikah." Cerocos Mamanya panjang lembar.
"Mamah apa-apaan sih." Protes Weni kesal.
"Mama kan benar Weni! buat apa kamu sama Bayu lama-lama pacarannya. Pacaran itu tidak baik dan gak kekal. Lebih baik menikah, selain dapat pahala, kamu juga dapat kebahagiaan, dan yang pasti lebih kekal dari pada status pacaran."
"Mah," panggil Weni memohon agar Mamanya berhenti berbicara dan mendengarkan penjelasannya.
"Mama sudah tua Wen, udah gak sabar pingin gendong cucu. Kamu gak tahu kan, Mama suka cemburu lihat teman-teman arisan Mama pada ngomongin cucu mereka. Mama juga sedih lihat kamu harus pulang malam kalau lagi lembur, gak ada yang jemput. Sedih Mama Wen lihatnya."
Weni menggigit bibir mendengar curahan hati sang Mama. Tapi dengan berat hati ia harus mengatakan kejujuran dan membuat semangat Mama patah. "Tapi Weni sama Mas Bayu gak pacaran Mah," ucap Weni membuat Mamanya terdiam selama beberapa detik.
"Ya sudah kalau tidak pacaran tidak apa-apa." Weni bernapas lega tak mendengar nada kecewa Mamanya. "Tapi Bayu belum punya pacar kan? Kamu bisa tuh dekati dia. Bayu itu orangnya baik, ramah, kerjaannya bagus, sudah dewasa dan tanggung jawab lagi, sayang kalau dilewati calon potensial seperti itu. Lelaki kayak Bayu sekarang ini langka Wen, kamu jangan sampai kelewatan yang udah ada di depan mata loh."
Weni menyerah, ternyata Mama masih semangat membahas hal ini. Dan ya ampun, pembahasan sepenting ini kenapa dilakukan di tengah jalan raya, di atas motor yang melaju lambat. Weni yakin seratus persen, orang-orang yang mereka lewati pasti mendengar pembicaraan super duper penting antara ibu dan anak ini.
Mungkin diantara mereka ada tertawa, sembari menebak-nebak bersama teman mereka apa inti yang ia dan Mama bahas. Atau mungkin juga ada yang merasa kasihan melihatnya, memiliki Ibu kejam, yang tidak peduli dan tetap mengomeli sang anak di tegah jalan begini.
Malu dan tak ingin kembali mendengar petuah Mama yang membuat kuping panas, Weni mempercepat laju kendaraan dengan perlahan agar Mama tidak terkejut. Kasihan sudah tua, Mama juga orang tua satu-satunya yang ia punya saat ini setelah Ayahnya meninggal Sepuluh tahun lalu.
"Anak bandel!"
Weni terkekeh tanpa kentara mendengar seruan Mama.
"I Love You Mama!" seru Weni semakin mempercepat laju kendaraan.
Meski Mama suka mengomel ini dan itu, tapi dengan Mama lah Weni berbagi kebahagiaan. Dapat tertawa dan menangis di waktu hampir bersamaan. Yang pasti Mamanya itu adalah Mama yang terbaik di dunia Weni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaun Pengantin
General FictionSudah tersedia versi ebook di playstore #PengantinSeries1 Menikah secepatnya adalah target Weni saat ini, ia sudah bosan menjadi pengiring pengantin disetiap pernikahan para sahabatnya. Weni juga ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi ratu sehari...