Dua belas

2.2K 108 12
                                    

Angin sore rela mengibaskan rambut gadis yang terurai rapi dimotor itu. Tanpa menghiraukan tangan kirinya yang sedang memakai gips karena retakan tulang setelah kejadian dua minggu yang lalu. Wajah pucat nya masih terlihat, lebih menampakan bahwa gadis itu memang sedang ingin mengingat semuanya.

Motor besar itu berhenti didepan sebuah cafe klasik dengan setiap sudut berkaca. Dengan cepat Rana turun, wajahnya sangat berterimakasih pada laki-laki yang tengah memarkirkan motornya didepan cafe itu. Mungkin ini bisa dibilang pertama kalinya lagi untuk Rana yang sekarang tak bisa mengingat apapun bahkan kejadian yang membuat dirinya lupa akan segala hal.

Sergio. Jangan tanyakan bagaimana keadaan laki-laki itu. Kakinya patah yang mengharuskan lelaki itu memakai alat bantu berjalan atau kursi roda. Beberapa bagian memar dan tergores ditubuh. Untung saja saat itu juga helm tak terlepas dari kepala Sergio, jika terlepas pasti ketampanannya akan musnah begitu saja.

"Masuk, kenapa diem?"

Rana tentu terkekeh dan menggeleng, mengikuti langkah laki-laki itu yang ternyata sudah memesan tempat dipojok ruangan dan tentu itu dekat kaca ruangan.

Jika kalian mengira bahwa lelaki itu adalah Arkan, itu semua salah besar. Dia Dika yang sekarang sudah berpindah tempat untuk menjaga Rana. Toh, Nadya dan Randy sudah melarang habis-habisan dan menyuruh Dika menjauhkan jangkauan dan Jarak Arkan pada Rana.

Menyesal? Tentu. Sergio juga ingin rasanya menonjok habis-habisan lelaki brengsek itu. Mungkin nama Arkan sudah tersisa tulisan pada batu nisan jikalau saja kondisi Sergio tidak seperti ini. Bahkan Aldy teman baiknya Arkan dari lama sudah menjauh.

"Lo mesen aja, nanti gue yang bayar." Suruh Dika melambaikam tangannya pada pelayan lalu menyodorkan buku menu ke Rana.

"Dik, gue bisa bayar sen—"

"Kan waktu itu gue udah janji."

Rana sempat mengingat-ingat, tapi nihil mengingat dirinya sudah amnesia.

"Kapan?"

"Sebelum lo lupa segala hal." Bohong Dika. Jelas berbohong, agar Rana tak banyak bicara dan menolaknya.

Rana menunjukan beberapa menu pada pelayan untuk mencatatnya, juga Dika yang ikut mengambil makanan kesukaannya. "Ah iya, nasi goreng biasanya cancel aja. Ganti sama yang seafood."

Ah, iya, satu fakta yang belum tersebutkan. Dika mengetahui semua kesukaan Rana sejak lama dan sejak ia sadar bahwa dirinya ternyata menyukai gadis ini.

"Dika?"

Lelaki itu tidak menjawab, membiarkan pelayan pergi dengan pesanan yang sudah dipesan. "Hey, Dika!"

Refleks Dika menoleh mengangkat satu alisnya dengan senyuman yang pasti akan membuat kaum hawa klepek-klepek bahkan pingsan.

"Sebenarnya lo siapa gue si?"

Dika berfikir sebentar sebelum senyuman tipis itu tergambar lagi didunia.

"Kalau kata Rana yang dulu, mungkin lo udah terjawab bahwa lo adalah orang yang membuat gue sempurna karena lo ada didekat gue." Rana diam-diam menahan pipinya yang sudah panas. Beberapa detik pun Lelaki itu terdiam bersamaan dengan pelayan yang datang dan menaruh dua minuman yang dipesan. Baru saja pelayan itu ingin pergi tetapi Dika langsung mencegahnya.

"Ada apa, kak?" Tanya pelayan perempuan itu. Dika menggeleng lalu menunjuk Rana.

"Mba-nya tau gak dia siapa?"

Tentu pelayan itu menggeleng, "Nggak kak. Siapa memang?"

"Kalau mba nanya dia siapa, jelas saya jawab bahwa dia adalah karya tuhan yang sedang saya kagumkam."

My Ice BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang