Tiga belas

1.8K 89 9
                                    

"Selamat pagi, Rana..."

Gadis dengan kuncir kuda itu tersenyum. Ia kembali melanjutkan membaca bukunya setelah membalas sapaan dari Maudy. Pagi ini tak seperti pagi biasanya.

Pagi ini Dika tidak menjemputnya, berujunglah Rana harus diantar oleh Randy. Berbeda dengan Maudy yang masih melamun menatap Rana. "Kenapa sih, Dy? Gue aneh ya?" Tanya Rana mulai risi. Maudy menggeleng, ia menegapkan tubuhnya menghadap Rana.

"Rana, tau gak gue dianter sama siapa?" Sahut Maudy girang. Rana menggeleng pelan dengan tangan yang dicekal oleh Maudy.

"Aldy! Kak Aldy!"

Tidak ada ekspresi dari Rana yang diinginkan Maudy. Rana hanya memiringkan kepalanya bingung.

"Aldy?"

"Oh shit gue lupa. Gak kok, bukan siapa-siapa." Cekalan lengan Rana dilepas oleh Maudy. Ia kembali menaruhkan kepalanya dimeja. Rana tidak bisa diajak girang seperti dulu lagi padahal jika Rana mengingatnya ia pasti akan berteriak sekarang juga.

"SELAMAT PAGI!"

Rana, Maudy bahkan seluruh murid dikelas terlonjak kaget saat suara cempreng milik Luna terdengar menggelegar dari pintu kelas. Bahkan Dika yang berada dibelakang Luna langsung menutup telinga dan segera menempeleng kepala Luna. Salah sendiri pagi-pagi sudah buat keributan.

"Berisik lo Lun, tumben-tumben biasanya kan Rana!" Ucap salah satu murid dipojok yang sukses mendapatkan tatapan tajam Dika hingga Maudy.

"Gue kenapa?" Tanya Rana bingung. Murid itu menggeleng melemparkan senyuman lalu kembali sibuk. "Dy, gue kenapa?"

"Em... anu—" Maudy tergagap. Iyalah, sahabatnya menanyakan sebuah pertanyaan yang seharusnya ia ketahui jawabannya sekarang juga.

"Rana, lo ada terapi siang ini kan?"

Terimakasih lah pada Dika yang telah membantu mengalihkan pembicaraan sehingga Maudy tidak jauh-jauh berfikir.

Rana terdiam sebentar, mengambil ponselnya untuk membuka sebuah note diaplikasi sana. Ia mengangguk, memperlihatkan pada Dika yang sudah ada dikursi hadapannya sebelah Luna.

"Gak papa sendirian? Gue ada ekskul basket."

"Anak basket lo sekarang?" Goda Luna menyenggol lengan Dika.

"Udah lama. Lo aja yang ketinggalan jaman."

Mereka semua terkekeh. Rana masih terdiam memandang bukunya yang pasti lebih menarik daripada teman-temannya, andai Rana tau mereka semua merindukan dirinya yang hilang. Apakah memori Rana masih bisa kembali? Ah, terapi itu bukannya belum tentu berjalan dengan cepat?

"Rana, minjem buku tugas lo dong. Udah kan?" Luna cengengesan tak bersalah. Rana mengangguk pelan, mengeluarkan buku tulis bersampul coklat yang dicovernya ada— oke, huruf A besar yang entah tulisan siapa itu. Tadi malam saat mengerjakan Rana sempat tak meliriknya, tapi mengapa-sudahlah lupakan. "T-thanks. Nanti pas ada guru gue balikin."


M I B •

Dika dengan baju basketnya sedang menyamakan kakinya saat ia berjalan bersama Rana, gadis itu manis saat menjadi kalem seperti ini. Tapi, bukan berarti Dika tidak merindukan beradu mulut karena hal ringan atau seperti membayar uang kas dan kabur saat jadwal piket. Dika juga merindukan Rana yang dulu.

My Ice BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang