//Prolog//

70 8 0
                                    

    Ia berjalan sendiri, menjauh dari keramaian. Sudah ahli dalam menyendiri, ia tak khawatir ada yang mencarinya.

Seharusnya, ia ikut hadir di sana. Menyaksikan toga yang dilempar di udara, dan bersorak atas kelulusannya.
Ia memang lulus, namun ia belum bisa lulus dalam ujian hidup.

Mundur dari masa lalu adalah langkah terberat, namun, maju ke masa depan bukanlah langkah yang ringan.

Dering handphone-nya mengembalikannya kembali ke alam sadar. Daritadi ia hanya terus berjalan disekitar taman, melamun, tanpa arah dan tujuan.

Sudah puluhan missed call dengan nama yang sama, kali ini Inez berminat untuk menjawabnya.

"Inez, jangan keluyuran terus."
Ucap suara diseberang.

"Today is your graduation day, kenapa malah pergi?" Suara berat diseberang terus bertanya pada Inez.

"Sejak kapan kamu peduli?" Inez sedikit menaikkan intonasi suaranya.

"Tidak usah pede." Bentak suara di seberang, kemudian memutuskan panggilan.

Inez semakin emosional, muncul ide yang buruk.
Ia memilih untuk tidak pulang, karena tak ada lagi tempat yang pantas ia sebut rumah.

Langit semakin mendung, ia segera mencari tempat berlindung.

Ternyata hujan datang lebih awal, Inez kemudian berlari menuju halte yang berada di dekat taman itu.

"See? no one wants me back." Keluh Inez.

Ia duduk murung di halte, dengan wajah datar dan perasaan yang biasa saja. Ia bahkan bingung, apa yang harus dilakukan.

Datang mobil mini cooper biru, dan melambat saat mendekati halte.
Mobil itu kemudian menurunkan sedikit kacanya, tampak lelaki berkaus putih dan menggunakan sunglasses.

"Inez! Gue tahu lo pasti disini!!" Lelaki itu kemudian tersenyum puas.

Inez membuang muka.

"Gak usah sok ngambek gituu." Lelaki itu kemudian turun dari mobil, menembus derasnya hujan menuju halte.

Hanya beberapa langkah, ia telah di hadapan gadis dengan sweater pink oversized dan rambut yang diikat asal.

"Inez, you have to trust me now. Kali ini kamu harus ikut aku, ada seseorang yang inginkan kamu hadir disana juga." Gio memegangi bahu Inez, memastikannya untuk ikut dengannya.

"But, we're just broke up." Inez melepaskan tangan Gio yang berada di bahunya.

Ia pergi menembus hujan, kini ia tak peduli bila bajunya basah. Gio membiarkan gadis itu pergi, karena itu sudah menjadi tabiatnya.

Pergi dari masalah dan belum siap menghadapinya.

Totally trustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang