//Lembar baru//

34 4 0
                                    

"Ucapkan kata-kata indah tentangku hingga aku dapat merasakan bagaimana mudahnya untuk percaya sepatah kata, tanpa memiliki prasangka buruk tentangmu"

•°•°•◇◇•°•°•


Arumdira Inez, gadis yang baru menginjak bangku sekolah menengah atas ini menghentakkan kakinya memasuki koridor sekolah Harapan Nusa. Dengan nuansa putih, bangunan sekolah yang terdiri dari tiga lantai ini terlihat senada dengan warna langit biru yang cerah. Pagi hari terasa begitu tenang, pohon rindang di tepi lapangan, kicauan burung, mentari hangat menyambut. Jam menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, yang terlihat hanyalah petugas kebersihan sekolah sedang menyapu dedaunan kering.

Tak ada yang spesial dari Arumdira Inez, atau kerap disapa Inez. Terlihat biasa seperti gadis seusianya, kulit kuning langsat, mata hitam-kecoklatan, rambut dikuncir kuda, ransel hitamnya diramaikan enamel pin berwarna-warni, jam berwarna pink salmon pada pergelangan tangan kirinya dan sneakers putih bersama kaus kaki semata kaki. Apa yang bisa dinilai dari penampilan semacam itu? Biasa saja bukan?

Setelah pemerintah resmi menghapuskan kegiatan MPLS, tidak terlihat lagi siswi yang mencolok dengan pita warna-warni, ataupun siswa yang dihukum karena atribut ospek tidak lengkap. Suasana sekolah sangatlah damai, hingga Inez lupa ke mana seharusnya ia pergi. Ia kini telah berada di ujung koridor, bertatapan dengan tembok kosong yang datar.

"Kamu mau kemana? daritadi aku ikutin kamu, sekarang malah diem."

Suara berat namun bernada rendah memecahkan lamun Inez, ia membalikkan badannya. Tampak sosok lelaki seusianya, dengan seragam putih terlihat bingung dan memegangi ransel di tangan kiri.

"Ada apa dengan saya ya? Kenapa ngikutin?"

Ucap Inez, lelaki itu menundukkan sedikit badannya,

"Aku kira kamu tau what should we do, aku bingung sih kemarin waktu daftar ulang gak dateng, yang urus bokap. Jadi, sekarang ngapain?"

Inez sama bingungnya, sehari sebelumnya diadakan pertemuan menyangkut hari pertama sekolah, namun, nasibnya sama dengan lelaki yang kini di hadapannya. Ia berlalu, mengabaikan pertanyaan lelaki itu dan mencari bangku untuk duduk sejenak.

"Heey!"

Ia terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun, ditariklah ransel Inez hingga ia terhenti.

"Apaansih."

Ketus Inez,

"Jadi ngapain niih sekarang??"

Lelaki itu kemudian menggaruk tengkuknya yang tak gatal,

"Sama, saya juga gak tau apa-apa, jangan ganggu saya."

Lalu, ia terus melangkahkan kakinya hingga duduk di bangku taman, tepat di bawah pohon mangga yang belum berbuah.

"Hey, jutek banget, aku gak punya temen nih di sini."

Terulang kembali memori Inez, saat di mana ia berada di sekolah menengah pertama. Ia tak memiliki seorang teman, entah tak betah dengan sikap dinginnya, atau hal lain.

"Nama aku Sergio Bimala, panggil aja Gio, kamu Inez 'kan?"

Inez terkejut, semasa SMP ia tidak terlalu dikenali sama sekali dengan anak satu sekolahnya, bagaimana bisa lelaki yang duduk di sampingnya kini, yang berasal dari sekolah lain, mengetahui namanya.

Totally trustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang