Vidhya II

2K 60 31
                                    

Kunikmati wajah damainya. Kulumat dengan tatapan yang enggan berkedip. Setiap kali dia tersenyum, rasanya ingin kulahap habis seluruhnya hingga tak bersisa. Kata apapun yang tertutur dari bibirnya, bagai syair pujangga yang begitu romantis.

Pesona perempuan berkacamata itu, memporak porandakan hatiku. Tanpa dia sadarinya, hadirnya berhasil membuyarkan tiap apapun dibenak. Namanya, merajai seluruh ruang difikiran. Vidhya.

Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya. Setiap tubuh semampai itu memasuki ruang rapat, setiap kali itu pula mataku bagai terpasung hanya pada sosoknya. Aku menikmatinya. Teramat menikmatinya. Bahkan dalam beberapa detik, aku mampu menyetubuhinya hingga benar-benar terpuaskan seluruh keinginan liar yang semakin memperbudak isi kepalaku. Menikmatinya diam-diam dalam diam.

"Hai,"

Aku tersentak.

"Eh, iyah. Hai," balasku sembari membenahi duduk. Duduk yang rasanya tak lagi pada tempatnya.

Padahal hampir saja kelar. Apes. Batinku.

"Masih sunyi yah,"

"Seperti biasa. Indonesia. Tak ngaret, tak greget," balasku sekenanya.

Dia tersenyum. Dia, Vidhya.

"Aku belum tau materi sore ini. Kira-kira bahas apa yah Mbak?" tanyanya.

"Paling masih soal jembatan yang di Lembang. Cuma itu kan yang sepekan ini melulu buat ulah," jawabku, tanpa melepaskannya dari tatapan.

Dan seperti biasa, Vidhya akan mengambil tempat tepat di depanku. Menarik kursi dan lalu menjatuhkan duduknya sangat pelan. Setiap kali melihatnya akan menjatuhkan duduk di alas kursi yang empuk, setiap itu pula fikiran liarku kembali menari menggila. Dibenakku, duduknya tertumpu dipangkuanku.

Kadang, aku merasa terlalu berlebihan dengan isi kepalaku. Namun terlalu sulit dikendalikan. Vidhya telah mengubahku menjadi pecandu dalam diam. Diam-diam menjadikannya candu ternikmat.

Sebelum mengenali sosok berkulit putih itu, aku termasuk pekerja yang bebal. Sesuka hati. Semaunya sendiri. Merasa pantas untuk ditunggu oleh peserta rapat lainnya. Merasa hebat sendiri. Posisi jabatan yang menguntungkan, menjadi salah satu penyakit angkuh yang aku ternak.

Atasan ? Jangankan menegur, menatap mataku saja, berasa mau minta pensiun dini dia.

Tapi itu dulu. Sebelum akhirnya muncul si candu, yang dikirim kantor pusat untuk membantu divisi pemasaran di kantor cabang tempat aku bertugas. Kehadiran Vidhya tak hanya membawa perubahan diperusahaan tempat kami mendulang rupiah. Lebih dari itu, Vidhya telah membawa angin segar buatku. Buat otakku, mataku, berahiku dan hatiku.

Berahi ? Ah, usah dibahas. Ini terlalu candu.

Dan kehadiran Vidhya bahkan telah mengubahku menjadi peserta rapat tercepat, yang tiba ruang rapat jauh waktu dari jadwal rapat. Aku pantas mendapatkam reward untuk prestasi itu. Tapi aku bukan penggila penghargaan. Lagian mana pula ada perusahaan yang mau mengapresiasi buruhnya yang doyan rapat kayak aku. Penghargaan tertinggi toh sudah aku dapatkan. Itu dari Vidhya. Yang diberikannya tanpa dia sadari.

"Gimana kabar Perla yang di Belawan ?" tanyaku.

"Belum ada renspon dari Pelindonya, Mbak. Mungkin masih timbang-timbang soal harga,"

"Penawaran berapa sih ?"

"Dua triliun kurang lebih, Mbak,"

"Duit semua tuh ?" Balasku berkelakar.

"Sebagian pake hati, Mbak."

Dug.

Hati ? Dia sebut hati tadi ? Bener ngomong hati kan dia ?

VIDHYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang