Vidhya VI

1.4K 67 45
                                    

Suasana cafe tempat kami biasa bercengrama, cukup ramai. Padat, tepatnya. Nyaris tak ada meja yang tersisa.

"Kayaknya ada event deh, Mbak," katanya.

Tanpa rasa sungkan, Vidhya menggelayut di lengan kananku. Kubiarkan saja. Otakku belakangan tengah inyaf-insyafnya. Lagi mati suri otakku berfikir liar. Mungkin karena akupun semakin terbiasa dengan beragam sentuhannya. Hingga semuanya mulai biasa dan makin terbiasa. Namun sungguh, sensasinya tetap saja meletup-letup. Tetap penuh semangat 45.

"Mbak tunggu sini yah. Aku coba tanya anak-anak dulu. Mana tau ada meja yang masih kosong," katanya.

Seperti biasa, tanpa menunggu persetujuanku, Vidhya berlalu begitu saja. Selain penuh candu, perempuan itu juga punya semangat tinggi berjuang mencari bahagianya. Bahagianya pun aku tau. Ngopi di cafe dan mendapat meja nyaman. Dan dia tengah berjuang mencari meja kosong.

Cukup lama aku menunggu. Berdiri tak jauh dari pintu masuk cafe. Hingga tiba-tiba kurasakan bahuku ditepuk.

Aku menoleh ke arah si penepuk.

"Eh ?"

"Mainnya di sini juga yah ? Lah, aku fikir kamu gak suka kopi ? Atau udah suka ?"

Tepat di sampingku, berdiri seorang perempuan mengenakan slim fit berwarna gelap. Namun tetap menunjukkan lekuk tubuhnya yang sintal.

"Ama siapa, Kak ?" Tanya lagi tanpa menunggu jawabanku.

"Eh iyah. Ama teman aku ?"

"Mana temannya ?" Tanyanya menyelidik

"Ke sana tadi. Nyari meja kosong," jawabku.

Pandangan perempuan itu mengikuti arah telunjukku.

"Berdua aja ?" Tanya lagi.

"Iyah. Berdua,"

"Ow,"

Tiba-tiba rasa gerah aku.

"Anak mana ?"

"Heh ?

"Pacar kan ?"

"Apa ?"

"Yang kamu bilang teman kamu itu. Bukan teman kan ? Pacar kan ?"

Ah, perempuan ini masih saja seperti dulu. Serba mau tau, bahkan pada hal-hal yang tak penting untuk dia tanyakan.

Namanya Ersa. Sang mantan. Mantan penggelisah.

"Boleh aku kenal ?"

Lihat betapa getolnya dia mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang lagi-lagi menurutku sangat tak penting.

"Nanti kita lanjut yah. Aku susul teman dulu," kataku berkilah.

Dan tanpa meminta persetujuannya, aku berlalu begitu saja.

Aku tahu, itu tak mengenakkan buatnya. Ersa sangat tak suka jika diabaikan. Tapi aku semakin tak peduli pun. Toh aku bukan apa-apa lagi baginya. Diapun bukan siapa-siapa lagi bagiku. Aku dan dia, sudah selesai. Selesai dengan cara yang sangat tak adil bagiku. Tapi biarlah menjadi penggalan lalu yang tak perlu pengusikku. Aku memilih mencari Vidhya yang entah telah sampai ujung dunia mana, demi mencari meja kosong.

Tengah mencari-cari, akhirnya kutemukan juga sosok itu. Sosok semampai yang masih saja berjuang berburu meja.
"Vidhya,"

"Loh. Dibilangin tunggu di sana,"

"Cari cafe lain aja,"

"Jangan. Di sini aja. Aku sukanya di sini. Bentar. Kata mas-nya udah ada yang kosong. Mau dibersihin dulu,"

VIDHYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang