Saat membuka mata, aku berfikir bakal ada malaikat yang muncul dan mencercaku dengan trliliuan pertanyaan. Menuntut pertanggungjawaban semasa hidupku. Aku berfikir telah mati. Aku berfikir terbungkus kafan. Mataku yang masih terasa begitu berat, hanya dipenuhi warna putih.
"Hei,"Suara itu ? Malaikat ? Kok mirip suara Vidhya ?
Hingga akhirnya mata indahku terbuka sempurna, sadarlah aku berada di mana.
"Mbak ?"
"Hem.."
"Aku minta maaf karena begitu memaksa Mbak dengan kopi. Mbak pingsan lama begitu. Dan sekarang Mbak di rumah sakit,"
"Hem.."
"Apa yang Mbak rasa sekarang ?"Andai yang dihadapanku bukan perempuan yang merebut hampir seluruh cintaku, kupastikan sudah kujambak dia. Kubumi hanguskan hingga menjadi abu. Kuhempas hingga terbawa angin. Hingga benar-benar lenyap dari muka bumi. Ah, beruntung yang ngoceh saat kesadaranku masih setengah nyawa, Vidhya. Benar-benar perempuan beruntung.
Dan aku jauh merasa lebih beruntung, ketika di tengah separuh kesadaranku, kurasakan elusan tangannya dipunggung tanganku. Dan sim salabim, otak liarku kembali menari berputar. Ya Tuhan, separah inikah jatuh cinta ? Kenapa otak ini begitu liarnya. Aku seperti ditunggani berahi cinta yang tak terkendali.
"Mbak istirahat aja lagi. Biar aku tungguin," katanya, masih mengusap punggung tanganku.
"Seberapa lama aku hilang, Vid ?"
"Lama Mbak. Aku sampai tidur dua kali loh ?"
Jawaban macam apa itu ?
"Ooo..."
"Tadi Pak Hadi datang besuk, Mbak. Dia tanya, kok tiba-tiba masuk rumah sakit. Katanya, di kantor Mbak baik-baik saja waktu pimpin rapat. Yah, aku jawab karena habis ncip kopi. Tapi aku bilang kok Mbak, aku yang......"
Dan aku kembali hilang.Kali ini kekuatan cinta tumbang. Kopi merusak kekutan cintaku. Kenapa harus ada kopi di kisah ini. Sangat tidak fair, kopi menjadi perusak rasa kasmaran.
***
