Vidhya III

1.3K 48 8
                                    

Cinta tak pernah jatuh pada hati yang salah. Dia hidup pada tempat yang diinginkannya. Dia pemilih yang tepat.

Dan meski telah beberapa kali berusaha menikmati dengan aroma kopi yang bagai belati menusuk dua lubang hidungku, tetap saja usahaku gagal untuk berdamai dengan baunya yang menurut Vidhya adalah candu surgawi. Candu di dunia bagiku tetap saja Vidhya. Tak terganti.

Sore itu...

Setengah memaksa, Vidhya memintaku menyeruput sedikit cairan hitam legam dari sendok yang diarahkan padaku.

"Ini robusta tanpa mix, Mbak. Gak ada asamnya. Coba deh. Dikit aja," katanya.

"Mual aku, Vid," kataku. Berharap dia mau mengurungkan niatnya menyuap kopi yang begitu diyakininya mampu meredam perasaan stres.

Meredam stres ? Yang ada aku makin stres rasanya.

"Belum coba pun, udah nyerah. Percuma loh rajin ke cafe kalau gak ngopi. Dikit aja, Mbak,"

Dan zepppp...cairan kopi di sendok amblas mengalir seenaknya melalui tengorokanku. Dan yah. Seperti dugaanku. Detik berikutnya, isi perutku seketika meronta.

"Aku ke belakang," kataku sembari berdiri dan berlari kecil ke arah toilet.

Aha ! Alhasil aku pun muntah. Benar-benar muntah maksimal. Seluruh isi perut berebutan keluar. Andai makanan yang tahun lalu masih ada yang tersisa, itupun minta pamit keluar melaui mulutku. Benar-benar muntah maksimal. Sampai ada yang pake jalur hidung pun. Parah ! Fikirku. Alamat buruk ini.

Ah, tak buruk-buruk amatlah. Itu ketika kurasakan tangan Vidhya menyentuh bagian tengkukku. Memberi pijatan kecil. Lembut nian Tuhan.

Dan sudah kubilang, jatuh cinta itu unik. Bahkan saat aku merasa bagai akan kiamat gegara kopi bedebah, otak liarku masih saja sanggup menguasai dan menyetubuhi Vidhya.

Dikala perut dan tenggorokanku masih berjuang melawan sisa kafein, otakku seenaknya dengan fikiran liarnya. Dikala tubuhku makin kelelahan, saat itulah aku benar-benar tumbang. Fikiran liar ? Hilang ! Rasakan !

***

VIDHYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang