Vidhya merajuk.
"Ayolah, Mbak. Aku janji gak lagi cekokin kopi lagi ke Mbak," katanya.
Aku menatap curiga. Bukan sekali dua kali perempuan penuh candu ini berjanji seperti itu. Selalu berhasil meyakinkan. Dan ujung-ujungnya ?
Gak ! Aku harus bisa menolak saat ini.
Menolak ? Emang aku sanggup ?
Kulepas nafas agak kasar.
"Malam aja kalau gitu. Lepas kantoran, aku mau balik tiduran dulu sebentar," kataku akhirnya.
"Nah !" Vidhya bersorak. Saking girangnya, dua gundukan dadanya seakan ikut bersorak melompat. Kali ini aku lempeng saja. Kecurigaanku masih lebih besar dari fikiran liarku saat ini.
"Aku apa Mbak yang jemput ntar malam?" tanyanya.
Belakangan, Vidhya begitu dekatnya.Hampir setiap jam istirahat, dia mampir ke ruanganku. Sekedar celoteh lagi-lagi soal kopi atau menemaniku menghabiskan jatah makan siangku.
Dan semakin dia dekat, aku semakin kasmaran dibuatnya. Kami seperti terikat sesuatu. Kimistri antara kami, begitu kuatnya.
Entah. Mungkin aku saja yang begitu merasanya. Aku merasa, si ceriwis pun punya rasa sepertiku. Jatuh cinta. Dan aku berharap itu. Teramat sangat berharap. Berharap dia merasakan kasmaran yang aku rasakan.
"Aku apa Mbak, nih yang jemput ntar malam ? Malah bengong,"
"Aku aja. Jam 8 yah," balasku.
"Yes. Oke Mbak. Kalau gitu aku balik ke atas dulu. Hampir kelar jam istirahatnya," katanya.
Dan tanpa persetujuanku, Vidhya berlalu begitu saja.
Seperti itulah dia sejak kedekatan kami yang semakin dekat. Sesuka-sukanya dia. Tapi aku sama sekali tidak keberatan. Jatuh cinta membuatku menafikan semua hal-hal yang tak semestinya.Kehadiran Vidhya pun kuibaratkan bagai magnet dengan kekuatan dua kutub yang luar biasa dan mampu menarik seluruh kekuatan yang aku punya. Merubahku menjadi penurut. Penurut yang betul-betul manut.
Seolah tak ada daya menolak setiap inginnya. Setiap inginnya bagai puisi paling romantis yang membuatku seperti penghamba, yang pasrah mengikuti semua yang dia mau. Vidhya, menguasai seluruh apapun dalam hidupku. Dan aku menikmati penguasaan itu. Penguasaan atas diriku.
***