Ride Then Die

122 11 0
                                    

     BOSAN rasanya, kalau hari libur tapi tidak ke mana-mana. Cuma bermain ponsel dan mendengar musik. Khusus untukku, ditambah menemani mama dan papa menonton televisi berisi acara-acara yang semakin hari semakin aneh.

"Kita nggak ke mana-mana, Pa?" tanyaku yang duduk di sofa tepat di samping mama, kepada papa yang sibuk membolak-balik halaman koran di sofa yang berbeda.

"Nggak. Capek," jawabnya.

Aku menghela napas.

Lalu, dari pojok ruangan, terdengar suara telepon rumah berdering yang membuat mama berucap, "Sana, Jingga, angkat teleponnya."

Padahal, dia lebih dekat dengan telepon. Kenapa aku yang disuruh? Malahan sibuk menonton sinetron yang episodenya tak pernah usai.

Aku mengernyit, lalu meninggalkannya dan menghampiri telepon rumah.

"Halo?" sahutku setelah mengangkatnya. Tidak ada jawaban.

Setelah beberapa kali 'halo' dan masih tidak dijawab, aku mulai bete.

"Bercanda ya ini? Saya tutup ya!" ancamku.

"Halo, dengan Mbak Jingga?" kudengar suara berat dari seberang.

Tapi, suara berat itu terlalu dibuat-buat—sehingga aku bisa menebak siapa peneleponnya. "Apa, Raga?"

Dia tertawa. "Kok ketahuan sih?"

"Lo lebay sih cara ngomongnya. Oh iya, gue lihat kemarin lo udah pulang dari Thailand. Gimana, enak lo liburan?"

"Kurang oke. Enakan Jakarta, ngebonceng lo sambil teriak-teriak."

"Dih."

"Lagi apa, Jing?"

"Jingga, bukan Jing."

Sekali lagi, dia tertawa. "Yaudah. Pergi yuk, Jing? Gue jemput. Kita bonceng-bonceng lagi."

     Ting tong!

"Jingga!"

"Ya, Ma?" sahutku dari kamar.

"Ada Raga," kata mama dengan lantang dari pintu depan.

Kubuka pintu kamar dan mengintip—mengecek cowok menyebalkan yang asyik duduk-duduk di ruang tamu dengan kedua orang tuaku.

"Ayo, buruan!" suruh Raga sambil mengisyaratkan dengan tangannya agar aku menghampirinya. "Keburu mulai nih, filmnya."

"Mau nonton film?" tanya papa. Aku dan Raga mengangguk hampir bersamaan. "Oh, yaudah. Hati-hati."

Aku menghampiri mereka, lalu melihat orang tuaku dan Raga secara bergantian.

"Oke, Om, Tante. Oleh-olehnya katanya mau diantar sama bunda pas agak sore." Kulihat Raga bangkit dari duduknya dan menyalimi tangan mama dan papaku. "Raga pinjam Jingga-nya dulu ya."

"Makasih, Ga. Bawa aja Jingga yang jauh. Tante capek lihat dia nggak pernah ke mana-mana. Busuk di rumah."

Ya ampun. Bahkan, yang betul-betul tak pernah ke mana-mana itu dia sendiri. Bisa-bisanya dia mengataiku seperti itu? Mama yang menyebalkan.

Raga tertawa kecil, kemudian kami berpamitan sekali lagi pada orang tuaku. Setelah itu, kami langsung berangkat menaiki motor kesayangan Raga.

Apa kalian heran melihat cowok itu begitu dekat dengan keluargaku? Raga Purnayuda, namanya. Tetanggaku sejak kecil dan sekolah kami juga selalu bareng sedari SD, sampai kini, SMA.

Kami sering jalan-jalan bersama secara dadakan seperti ini, makanya orang tuaku pun tidak kaget, karena sudah sering melihat Raga tiba-tiba memencet bel rumah dan bilang bahwa aku dan dia akan ke luar.

Seperti sekarang ini, contohnya.

Tunggu, tunggu. Tidak memakai helm ditambah angin yang ultrakencang menabrak wajahku, membuat kondisi wajah dan rambutku jadi acak-acakan. Bagaimana ini?

"Raga!" Kuteriaki dan kutepuk dengan kencang bahunya. Walau samar karena kepalanya ditutup helm, aku dengar dia merespon dengan ketawa-ketawa jahil dan menyebalkan.

Omong-omong, kalau kalian belum sadar seberapa berharganya nyawa dan kehidupan kalian, maka kalian harus mencoba dibonceng oleh Raga menaiki motornya.

Mengebut dan tanpa kewaspadaan sama sekali (kecuali terlihat ada polisi di sekitar). Itu hobinya.

Aku sering kali memprotes soal kecepatannya saat berkendara. Tapi, sering kali pula ia menjawab seperti ini:

"Jingga, kawanku, you only live once!"

Kini, aku tahu dia sadar kalau aku semakin panik sebab rambutku yang lupa kukuncir berarakan ke sana dan kemari. Maka, kala aku berusaha sebisa mungkin untuk membetulkan rambut, Raga malah menambah kecepatannya.

Benar-benar cowok yang menyebalkan!

"Soal rambut nanti aja. Pegangan, Jingga!" serunya sambil agak menengok ke arahku. "Mumpung jalanan lagi sepi, gue mau ngebut! Lo pasti kangen sama teman lo ini, karena nggak diajak 'ride or die' selama seminggu penuh kan!"

"Kalau begini namanya 'ride then die', Ga!"

"Tenang aja, lo kan temen baik gue! Bakal gue jagain! Yang penting pegangan, ya, Jing!"

"Nama gue Jingga, bukan Jing!"

"Karena nama lo Jingga, makanya gue panggil Jing! Kalau nama lo Sumarninah, ya gue panggil Sum!"

Aku sempat tertawa—sebelum dia menambah lagi kecepatannya. "Raga!"

Kudengar dia tertawa sambil memelankan kecepatannya sedikit. "Ngeyel lo ya! Gue bilang, 'pe-gang-an' kalau nggak mau mati terguling di jalan, Sobat!"

Lalu, dituntunnya tangan kiriku ke dalam kantung jaketnya dengan tangan kiri miliknya.

Awalnya aku ragu. Namun, pada akhirnya, kupeluk erat Raga dari belakang.

Aku tersenyum. Aroma khasnya yang ringan menyeruak ke dalam indera penciumanku. Seketika, soal rambut berantakan sudah tak kupedulikan.

Belakangan aku tahu kalau Raga juga menarik senyum, di balik helmnya.

Selesai.

Kepingan: Prosa Tentang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang