Senyum - 1/2

66 12 3
                                    

     DULU, aku membayangkan keindahan masa-masa kuliahku yang berjalan mulus dan lancar, hingga nanti lulus begitu saja dan bekerja. Namun, sudah memasuki tahun ketiga alias semester 5, pikiranku tak bisa tahan untuk tak bilang bahwa masa-masa kuliah sangatlah tega dan kejam.

Kini, aku telungkup di atas tempat tidur dengan jemariku yang tak henti mengetik tugas yang tak selesai-selesai. Kepalaku mulai pusing kehabisan ide.

Ah, jemari dan otakku yang malang—

Krucuuuk

Dan perutku yang malang.

Aku menimbang-nimbang sejenak, lalu memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di kota. Sekalian jajan sedikit, apa salahnya?

Kulihat jam dinding di kamar. Jam 10 pagi. Dengan segera, aku membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi.

Saat aku turun tangga dan hendak membuka pintu depan rumah, langkahku terhenti kala ibu memanggil namaku. "Janitra!"

Aku menghampiri suara ibuku lalu mendapatkannya sedang masak di dapur.

"Lho, kukira Ibu masih tidur. Nggak ada suara sama sekali," ucapku keheranan.

Masih mengaduk sesuatu di panci tanpa melihatku, ibu tersenyum. "Untuk apa juga Ibu berisik-berisik? Emangnya Ibu lagi renovasi rumah?"

Aku dan dia terkekeh. "Ya, bukannya gitu, Bu."

"Kamu mau ke mana, Jan?" Ketika mata ibu melihat ke arahku, seluruh perhatiannya tersita hingga ia melupakan masakannya sejenak. "Rapi tenan iki lanang." (Rapi sekali ini cowok.)

"Arpusda, Bu," jawabku. "Mau ngerjain tugas di sana sambil cari-cari buku."

"Kenapa nggak di perpusnya UNS aja?" tanyanya sambil mengambil air minum di dispenser. "Kan lebih gampang."

Aku tersenyum. "Cari suasana baru aja, Bu. Jarang-jarang ke arpusda."

"Oalah," kata ibu. "Karo koncomu?" (Sama temanmu?)

Mendengar suara desisan, aku menyadari di belakang ibu, ada panci yang isinya meluber hingga meneteskan air ke api di kompor.

"Bu, Bu, masakannya ngeluber."

Nadaku terdengar darurat, sehingga ibu langsung menengok ke belakangnya dan panik.

"Lali Ibu," (Lupa Ibu,) ucapnya sembari mengecilkan api dan mengaduk-aduknya kembali.

Aku tertawa kecil. "Lali kabeh yo, Bu?" (Lupa semua ya, Bu?)

Selagi ibu sibuk sendirian, aku membuka ponsel dan mengetahui sudah jam 11 siang. Buru-buru, aku menghampiri ibu untuk pamitan.

"Bu, Jani berangkat dulu ya. Sendiri, naik motor."

"Yowis." Ibuku mengelap kedua tangannya di bajunya sendiri. Kuraih tangannya dan kucium sekilas. Ia mengusap rambutku perlahan. "Hati-hati ya."

     Di sepanjang jalan, aku terus-terusan melihat warung makan, yang membuat perutku makin-makin berguncang dan berteriak kelaparan.

Ayahku bekerja sebagai dokter bedah (sampai kini), bertemu ibuku yang dulunya bekerja di restoran favorit teman-teman ayahku. Mereka kemudian menikah dan menjadikanku tumbuh besar di Kota Solo. Sedari TK, SD, SMP, SMA, dan sekarang, kuliah... masih tinggal di Solo.

Tinggal di bagian Surakarta yang kanan-kirinya penuh jajanan dan angkringan, memang membuatku sulit untuk menahan lapar sedikit saja.

Hampir belok ke Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Surakarta, atau yang biasa disebut arpusda, aku justru tergiur untuk membanting setir ke warung Soto Lamongan 'Cak No' yang berlokasi di seberang perpustakaan.

Setelah memesan dan duduk, aku termenung. Tempat ini adalah tempat kejadiannya kencan pertamaku dan berakhirnya cinta pertamaku saat SMA.

Sewaktu itu, tentu saja, memiliki pacar adalah hal yang lumrah, karena dibilang melengkapi masa SMA atau masa ABG (Anak Baru Gede). Dan saat aku baru menduduki bangku kelas 11, di situlah aku memiliki pacar keduaku. (Yang pertama ada di SMP kelas 8, kalian jangan penasaran karena cerita ini tentang aku dan pacar keduaku, bukan pacar pertamaku. Makasih.) 

Namanya Binar. Dulu, sekelas denganku. Anak pindahan dari Yogyakarta karena ayahnya tugas dinas. Dengan parasnya yang ayu, tingkah lakunya yang mengerti sopan dan santun, juga salah satu cewek rebutan di sekolahku, aku bisa dibilang beruntung pernah memiliki Binar.

Sainganku yaitu cowok-cowok klimis dan berduit yang siap membelikan Binar apa saja. Sementara aku, kurang banget. Apalagi wajahku sempat dekil dan nggak karuan di awal SMA. Pokoknya, aku beruntung abis deh.

Dengan semua kekuranganku—beserta kekurangan duit, hari itu pada bulan kedua kami pacaran, aku bisa mengajaknya jalan ke warung soto lamongan ini dan berkesempatan untuk mengobrol banyak, mengenalnya lebih baik.

Salah satu alasanku untuk memilihnya pun karena aku tahu, dia pasti tak akan merasa terganggu bila aku mengajaknya keliling makan debu naik motor atau makan di tempat kecil yang sesuai dengan dompetku. Binar orang baik.

Kami berpacaran 1 tahun. Hingga saat lulus SMA, keluarga Binar terpaksa pindah ke Jakarta karena ayahnya ada tugas dinas di sana.

"Aku minta maaf, Jani," katanya saat itu, di pertemuan terakhir kami.

Aku ingat, sehabis kami makan, aku langsung bayar dan mengantarnya pulang. Di depan rumahnya, Binar bilang terima kasih, lalu jalan ke dalam rumah. Tapi, sebelum Binar masuk, ia membalik badannya, sekedar untuk memberi senyum kecil.

Kutukar senyumnya dengan senyumku.

Lamunku dibuyarkan oleh pelayan yang mengantarkan soto pesananku.

"Makasih." Aku menarik mangkuk dan melihat jam di layar ponsel.

15 menit lagi deh, setelah itu aku bakal ke arpusda. Sekarang, puas-puaskan makan dulu.

(Bersambung ke bagian 2/2.)

Kepingan: Prosa Tentang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang