Aku Nggak Marah, Daru

105 18 7
                                    

     "BULAN, lo kenapa?"

Pertanyaan dari temanku sontak membuyarkan lamunanku. Memang, volumenya biasa saja. Namun, ia bersuara tepat di depan telingaku.

"Apanya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal, aku paham betul Anggita sedang kepo berat perkara keadaanku.

"Ya, gitu," katanya ragu. "Lagi ada masalah ya, Lan?"

Aku cuma menyahut, "Hmm." Tidak mengangguk, tidak menggeleng pula.

Tapi, memang kekepoan Anggita tak pernah bisa dibendung. Langsung, ia bertanya kembali. Kali ini dengan nada menebak. "Daru?"

Setelah mendengar dia menyeret nama itu, aku mengernyitkan dahi. Aku tak menjawab. Dia heran. Aku pun.

Oke, begini. Biar kuceritakan terlebih dahulu kepada kalian. Dimulai dari aku. Namaku Bulan Lajawardi Pra—ah, namaku terlalu panjang. Disebut lengkap pun kalian tak akan ingat setelahnya. Panggil saja Bulan. Aku menginjak tahun terakhir di SMA dan dengan (tak) beruntung, duduk bersebelahan dengan Anggita si manusia kepo. Apapun yang kulakukan, dia selalu penasaran.

Oh, soal Daru yang disebut oleh Anggita. Daru adalah pacarku sejak satu setengah tahun lalu—entahlah masih bisa disebut pacar atau tidak, karena kami baru saja bertengkar hebat 2 hari yang lalu.

Nggak 'hebat' juga sih. Cuma aku saja yang merasa begitu karena terlalu berpikiran aneh-aneh. Sebetulnya, kami hanya diam-diaman begitu saja.

'Diam-diaman' itu sudah bertengkar hebat menurutku, sebab kami tak pernah seperti itu sebelumnya. Daru cowok yang baik. Terlampau baik malahan. Jadi, hubunganku dan dia, ya begitu-begitu saja. Tak pernah bertengkar. Sekalinya aku memancingnya ribut dengan persoalan sepele, pasti Daru selalu mengalah.

Penyebab pertama kami saling cuek adalah: Daru sempat mengaku padaku dua hari lalu melalui chat, kalau dia sedang bosan. Iya, bosan dengan hubungan kami.

Pun, jujur saja, aku merasa seperti itu karena hubungan kami tak pernah bermasalah dan terlalu lurus—sehingga terbilang monoton.

Kira-kira chat kami seperti ini:

Daru:
Bulan, aku bosen.

Bulan:
Yaudah, ngapain gitu. Makan, misalnya?

Daru:
Bukan bosen sama yang begitu.

Bulan:
Terus?

Daru:
Sama kita.

Bulan:
Maksud kamu?

Daru:
Bulan, aku bosen sama kita. Begitu-gitu aja. Nggak ada yang berubah.

Bulan:
Kamu mau udahan?

Daru:
Nggak gitu, Bulan.

Sampai situ, pesan dari Daru hanya aku baca saja. Setelah itu? Tak ada yang pernah berinisiatif untuk bertukar pesan lagi.

Jadi, di sinilah aku. Dengan pikiranku yang acak-acakan dan galau berat di tengah-tengah pelajaran biologi. Plus, diwawancarai oleh Anggita si kepo.

"Hmm?" Nada Anggita seperti mencekikku untuk memaksa jawaban. "Daru ya?"

"Ya," jawabku singkat, berharap pertanyaan itu tak berkembang.

"Oh, gitu."

Aku mengernyit heran serta kesal melihat Anggita yang kelihatan sok tahu. "Ha?"

"Nanti pulang sekolah kita jalan-jalan yuk, Lan."

"Ke mana?"

     "Kok jadi ke sini sih, Nggi?" tanyaku heran.

Kukira sepulang sekolah, Anggita bakalan membawaku ke mana. Seperti shopping di mall, atau haha-hihi sambil minum mahal di Starbucks—dari semua ayal itu, aku malah mendapati kami nongkrong di kafe sederhana dekat sekolah, duduk di pojok ruangan.

Yah, kuanggap saja Starbucks versi ramah di kantung.

"Udahlah. Gue tahu, lo kesal abis, sampai muka lo ditekak-tekuk begitu. Makanya gue ajak bersantai," ucap Anggita sembari menyeruput es cappuccino yang ia pesan 5 menit lalu. "Lo nggak pesan?"

"Nggak. Gue lagi low-cost," jawabku. Dipikir-pikir, boleh juga memanfaatkan Anggita di saat-saat krisis ekonomi seperti ini. "Emang lo ada niatan mau traktir gue?"

Anggita diam sejenak. Lalu bibirnya terbuka, mengatakan, "Asal lo ceritain ke gue, kenapa lo sama Daru berantem?"

Saat itu, aku langsung bilang 'oke', dan menceritakan semuanya serta merta menunjukkan chatku kepada Anggita. Sobatku itu cuma iya-iya saja.

Di tengah-tengah aku bercerita, denting bel di atas pintu kafe berbunyi. Pada awalnya, aku juga bodo-bodo amat. Tetapi, setelah melihat seragam dua orang itu sama seperti seragam sekolahku, aku tak bisa tahan untuk tak mengalihkan perhatianku seutuhnya pada mereka.

Dan tak tahan lagi, kalau nyatanya itu adalah Daru. Bersama dengan teman sekelasku, Rere.

Aku berdiri dan mencoba menghampiri mereka. Namun, tanganku ditahan oleh Anggita.

"Lan, jangan..."

"Diem, Anggi," ketusku sembari menepis tangannya. Aku terus melangkah mendekat pada dua orang itu secara perlahan.

Di awal-awal, aku berusaha berpikir positif. Lain setelah aku melihat ada sepasang tangan yang terpaut di antaranya, dan wajah mereka yang kepanikan saat menyadari eksistensiku.

"Bulan..." aku jelas melihat Daru panik sambil melepas gandengan tangannya dengan Rere.

Kami diam. Lama. Canggung rasanya.

"Jangan marah," kata Daru. Aku tahu ada nada sesal tersemat di sana.

Mataku yang tadinya terlihat berapi-api, jadi melayu. Menahan bendungan pada masing-masing sudutnya.

Aku nggak marah, Daru.

Aku kecewa.

"Daru, kita emang seharusnya udahan aja."

Sehabis berkata begitu, aku pergi ke luar kafe dengan mata berair—meninggalkan Anggita, Rere, Daru, dan hatiku. Di sana.

Selesai.

Kepingan: Prosa Tentang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang