4. Jaket

28 6 5
                                    

Kalau dihitung-hitung, waktu gue buat siap tempur ga lama lagi. Beberapa bulan lagi mungkin.

Yang gue tahu sekarang adalah kerasnya Atra belajar di belakang gue.

Hm, jujur gue sempet kesel sama dia karena kepedeannya yang tingkat tinggi, mentang-mentang pinternya -menurut gue- ga manusiawi gitu.

Dan dia juga selalu ngerendahin gue dengan berbagai macam olokan. Nyebut otak udang lah, otak ikan lah, otak ayam lah, otak-otak lah, yang nyata-nyatanya gue ini manusia. Dia kali yang otak simpanse, tapi nyata-nyata dia itu juga manusia. Halah bodo.

Namun, setelah gue liat dia sore ini dengan lelapnya tidur di meja pojok perpustakaan, membuat gue kembali percaya bahwa dia bener-bener masih seorang manusia.

Berhubung jam buka perpustakaan sekolah akan berakhir, hati kecil gue pun nyuruh buat ngebangunin Atra dari sleeping -beauty- handsome nya dia. Gue berjalan menyamping ke sisi kanan lalu menusuk-nusuk pulpen ke lengannya yang menjadi sandaran kepala, ia pun bangun dengan bekas lipatan yang terlihat jelas pada dahinya akibat buku yang ia tindihi.

Sempat ingin tertawa karena melihat wajah kusutnya, tetapi lagi-lagi hati kecil gue mengingatkan betapa kurang ajarnya gue kalau sampai-sampai mengeluarkan suara kesetanan seperti itu. Terlebih raut wajahnya yang begitu kelelahan, membuat gue tambah tidak tega.

"Bangun, perpus udah mau tutup." Atra yang setengah sadar hanya mengangguk pelan sementara gue menahan tawa melihat wajah linglungnya membereskan buku-buku di atas meja.

Saat keluar perpustakaan, berkali-kali gue lihat Atra mengusap wajahnya. Ntah karena ngantuk atau kurang tidur, pada intinya sekarang ia terlihat lesu. Inisiatif dengan otak manusia yang gue punya, gue nyeret Atra ke minimarket depan sekolah, mendudukkannya di kursi kosong, lantas membeli makanan dan minuman yang setidaknya dapat memberi energi bagi tubuhnya. Anehnya ia sama sekali tidak menolak dan hanya menurut layaknya anak kecil setengah sadar. Dan anehnya lagi gue mau-mau aja gitu jadi ngebabu buat dia.

"Isi dulu perut lo nih," Ucap gue sambil mengeluarkan isi dari plastik bertuliskan nama minimarket, Atra menaikkan kedua alisnya lantas mengambil air mineral. "Makasih."

Usai menerima ucapan terima kasihnya, gue membuka bungkusan salah satu snack sambil bermain handphone. Sayangnya, walau sudah di beli mahal dengan uang, itu snack kayak ga rela di beli sama gue gitu.

Gue buka dari ujung samping kanan atas-bawah ga bisa, dari ujung samping kiri atas-bawah juga ga bisa. Terakhir, dari tengah atas juga ga bisa. Kesal, dengan jalan satu-satunya yang menjadi andalan dikala seperti ini,  gue udah siap ngebuka tuh snack pake gigi kesayangan, eh snacknya malah ditarik sama Atra. Terus dibuka dengan mudahnya dari samping kanan atas, bagian awal yang gue buka tapi sialnya ga bisa-bisa. "Makanya, kalau buka tuh yang bener, pake tenaga."

Gue melongo, perasaan dari tadi gue udah pake seluruh tenaga. Gue komat-kamit ngatain snack sambil mengecek sosial media. Hening. Atra sibuk makan dan gue sibuk merhatiin dia makan. "Atra, kalau kita kalah Olimpiade, gapapa kan?"

Atra mengerutkan dahinya, "Gapapa gimana? Awas aja kalau sampe kalah." Gue cemberut mendengar jawabannya. Alih-alih memberi semangat kepada mental tempe gue, ia malah memberi ancaman yang bikin gue makin down bukannya termotivasi. Gue memainkan jari sambil meminum susu kotak yang terletak di meja.

Atra membuka bungkus sosis sambil menghembuskan napas pelan, "kalau mindset 'lo kalah lo mati' bisa bikin lo maju kenapa ngga? Karena yang lo perluin sekarang adalah kemauan untuk bekerja keras bukannya pemikiran akan kemungkinan terburuk."

Gue termangu. Apa yang diucapkan Atra sukses membuat gue ternganga. Kata-katanya emang bener, dalem, dan nyesekin karena semuanya adalah fakta. Yang gue perluin adalah kemauan, motivasi untuk maju. Bukannya berpikir yang aneh-aneh atau merasa putus asa, kalah sebelum berperang.

Count You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang