Sebenarnya sejak gue kenal Hana, gue sering merasa minder sendiri. Cewek? Iya. Cantik? Banget. Baik? Jangan ditanya. Dia cewek paling sempurna yang pernah gue temui. Orangnya ramah dengan rambut hitamnya yang lurus. Ia sering dijuluki 'Angel'nya kelas kami. Tak jarang anak cewek di kelas mengaku-ngaku menjadi kembarannya.
Semenjak awal semester, Hana memang sempat menjadi perhatian apalagi saat ia memutuskan bergabung dengan Organisasi Siswa Intra Sekolah. Namanya seakan melesat hingga ke kuping kakak kelas. Gue yang selalu di sampingnya terkadang hanya gigit jari melihat ia berdiri di depan mimbar sekolah membacakan dengan sangat bagus visi-misinya sebagai wakil ketua osis pada tahun ini.
Ketakutan gue tentang ia yang akan menarik diri dari gue setelah menjadi pusat perhatian atau sekedar ketakutan akan dibanding-bandingkan ternyata hanyalah pikiran negatif gue. Buktinya sekarang ia masih rajin mendengarkan curhatan-curhatan gue, masih sering mojok buat nonton drama korea bareng, masih mau temenan sama gue yang bukan siapa-siapa.
Tapi, sore itu, Hana kembali membuat gue takut. Bukan takut akan dua hal di atas, tapi ketakutan yang lain. Dan sampai sekarang gue juga ga ngerti apa yang gue takutin.
"Yang lo pelajarin apa sih? Persamaan grafik fungsi kuadrat gini aja ga bisa."
Gue tersentak. Tersadar akan dimana, kapan, dan lagi apa gue sekarang. Menghembuskan napas panjang, minuman gue sudah habis tanpa gue sadari.
Beginilah saat Atra sibuk mengoreksi jawaban gue dari soal OSN tahun lalu. Apa yang keluar dari mulutnya kalau bukan menghina ya gitu. Syukur-syukur juga gue jawab. Siapa sih yang senang hati mengerjakan soal gituan di akhir pekan begini?
Ini hari minggu. Normalnya sekarang gue lagi guling-guling di kasur sambil nonton drama korea atau sekedar ngayal bisa punya kisah hidup kayak drama korea. Tapi sebuah pesan grup di pagi hari membuatnya hanya sebatas keinginan. Minggu ini, gue duduk di salah satu café dekat rumah, belajar bareng Atra dan Angga ditemani tumpukan soal dan latte.
Kalau aja gue bisa punya otak kayak Lia. Mungkin gue bisa seperti dia yang sekarang asik main sama temen-temennya. Dengan dalih otak gue yang kurang memumpuni, gue mau gak mau harus belajar sama mereka.
"Sel, kenapa yang bisa lo kerjain cuma soal cerita doang?" Angga ikut berkomentar.
Gue mengendikkan bahu, "mungkin gue suka yang ada drama-dramanya gitu. Kan lucu, apalagi yang ngitung usia dari rata-rata. Kenapa sih perlu ngitung ribet, tinggal nanya orangnya aja, apa susahnya sih?"
Atra menatap tajam, membuat gue seperti kucing yang takut sama majikannnya. Bentar. Gue bukan kucing dan dia bukan majikan gue. Apasih yang lagi gue pikirin? Ini nih. Udah mulai keliatan akibatnya. Otak gue mulai konslet.
Gue menggeser tempat duduk menjauhi Atra yang otomatis mendekati Angga. "Yaudah ajarin gue makanya. Yang ini nih, persamaan garis hasil transformasi. Gue ga paham,"
Angga mengerutkan dahinya, lantas mendorong dahiku menjauh dengan telunjuknya. "Partner lo sebenarnya siapa sih? Sono belajar sono sama Atra."
"Jauh-jauh juga. Ntar kalau Ina liat bisa di penggal gue. Gih sana, gue mau video call-an dulu." Usir Angga sambil mendorong kursi gue. Gue memutar bola mata malas sambil mendengus, "Dasar bucin!"
Gue memanyunkan bibir, "Ogah gue belajar sama dia. Yang ada gue dihina mulu, bukannya belajar!" Atra kembali menatap tajam dan gue balas dengan tatapan menantang. Ya bener kan? Kenyataannya gitu. Apa? Mau bilang otak gue otak ikan? Otak ayam? Nih buka nih isi kepala gue, jelas-jelas otak manusia juga. Cih.
Setelah Angga beranjak keluar untuk menghubungi Ina. Handphone gue berdering menunjukkan sebuah panggilan dari Hana. Refleks gue melihat Atra yang sudah kembali fokus mengoreksi jawaban gue.
Gue pelan mengangkat panggilan, "Halo, Han. Kenapa?"
"Eung, bisa kok, tapi agak sorean ya. Gue masih belajar bareng nih."
"Hm. Dah."
Gue menutup panggilan usai mengiyakan Hana yang minta ditemani mencari dekorasi sore ini. "Hana?"
Gue mendelik. Atra yang awalnya masih menunduk, mengangkat wajah datarnya. "Hm? Iya. Kenapa? Mau minjemin jaket lagi?"
"Hm?"
Hm?
Hah?
Tadi gue bilang apa?
Mendengar jawaban gue, seketika Atra mengerutkan dahinya. Sementara gue mengutuk habis-habisan mulut dan lidah tak bertulang ini.
"Sel, Ina nih, mau bicara sama lo."
Angga datang dan membuat kontak mata kami terputus. Gue berdehem-dehem kecil merasa tenggorokan kering. "Lo kenapa Sel?"
"Ngga. Ngga papa. Inaa! Haii!" Gue mengambil alih handphone Angga lantas melambaikan tangan. "Sel! Gue ada kabar bagus buat lo!"
"Apaan?" Ina senyum-senyum mesem. Seketika gue ingat hari dimana ia mengatakan ada kabar bagus buat gue persis seperti ini dan keesokannya ia membawakan kecoa khusus untuk gue. "Jangan macem-macem lo Na!"
"Ngga elah. Kalau lo memang pecinta drama korea pasti lo bakal seneng banget sama kabar gue kali ini." Ucap Ina dengan wajah berseri.
"Apa? Ada drama korea bagus? Song Jong Ki-Oppa main drakor baru? Atau ada fanmeeting aktor korea di Indo?" Tanya gue yang membuat Atra berdecak.
"No. No. No. Sesuatu yang lebih menarik. Gue... udah siapin... Blind-date + double date buat lo!!! Cowoknya temen basket Angga. Dia pernah nanyain tentang lo. Dan gue pikir dia mungkin cocok sama lo! Jadi, besok pulang sekolah, kita-"
Gue yang mendengarkannya takjub dengan mata yang melebar, ternganga saat handphonenya sudah menghilang dari tangan. Atra mengambilnya lantas menutup panggilan. Membuat gue dan Angga menatapnya bersama dengan tatapan tak percaya.
"At, lo-"
"Lo tuh bodoh. Kalau lo ikut kayak gituan lo tambah bodoh."
"Mending lo belajar, supaya otak lo ada isinya."
Gue dan Angga bertatapan. Atra sialan.
——————
Ketos sama waketos nih,
KAMU SEDANG MEMBACA
Count You
Short StoryGue adalah salah satu murid yang ntah mengapa bisa terdampar di antara deretan anak pintar nan jenius. Ada Lia sang juara satu pararel, Angga anak kebanggaan guru, dan Atra yang dijuluki kalkulator berjalan. Gue, Sela, anak yang masih dipertanyakan...