6. Parapararam.

18 3 0
                                    

Sebenarnya hari ini gue ga mau turun sekolah. Capek kemarin otak gue seharian di pake ngejawab soal mulu terus hari ini upacara bendera dan sialnya pagi tadi, tamu bulanan datang lebih cepat dari biasanya. Tubuh udah auto males-malesan.

Karena gue punya alasan yang cukup buat tiduran di UKS sementara yang lain panas-panasan di tengah lapangan. Gue melewati koridor gedung belakang yang berada di depan barisan upacara kelas sebelas. Sampai suara dua perempuan yang berbincang terdengar dari ruang ganti sekaligus toilet wanita.

"Gue sih yakin seratus persen kalau si Atra bakal masuk."

Hm? Atra?

"Tapi apaan dah partnernya itu? Gue cek rankingnya ga tinggi tinggi amat. Nilai matematikanya terjun bebas semua. Diliat gimanapun masih pinteran gue."

Bentar. Partnernya Atra kan gue? Ini pada ngomongin gue ya?

"Gue juga ga habis pikir. Kenapa Ariq malah milih dia."

Loh jadi Ariq yang milih toh? Kalau gitu kita sama. Gue juga bingung kenapa dia milih gue. Huft. Pengen rasanya mendekatkan kuping ke pintu toilet itu.

"Itu yang gue bingung. Padahalkan dia cocoknya kan sama gue."
Yeu, sianjir.

"Sama-sama pinter."
Yeuu, bener.

"Waktu itu sih gue pernah nguping di ruang guru, emang guru-guru pada bingung kenapa Ariq milih partner si Sela bukannya elo."
Bentar kayaknya emang harus di deketin nih kuping ke pintu.

"Terus?"

"Ya.. Ariq bersikeras kalau bukan Sela yang jadi partnernya, dia ga mau ikut Olimpide itu. Terus disetujuin deh sama Ibu Syifa."
Ha? Gimana? Gimana?

"Udahlah Ren, biarin aja. Palingan mereka bisanya sampe rayon kabupaten/kota aja. Sepinter-pinternya Atra kalau partnernya ga bener, peluang menangnya juga bakal berkurang. Dah keluar yuk."

Gue segera pergi dari sana sebelum mereka sempat membuka pintu. Di UKS, gue cuma baring diam sambil menatap kosong langit-langit ruangan. Otak gue seketika blank. Jadi... Ini alasannya gue bisa sampai ikut Olimpiade Matematika. Karena makhluk triplek itu? Bukan karena peluang kemampuannya sendiri seperti yang dikatakan oleh Ibu Syifa? Lantas kenapa Atra malah memilih dia bukannya Rena yang juga merupakan anak kesayangan Ibu Syifa? Beribu pertanyaan masuk satu demi satu ke kepala gue yang kecil ini.

Gue menyampingkan badan lantas menekuk tubuh hingga guling yang berada di pelukan terhimpit. "Kak, kenapa? Sakit perutnya?"

Seorang anggota PMR kelas sepuluh datang, mungkin karena tingkah gue yang seperti orang kesakitan. "Ngga, ngga papa. Bisa tolong ambilkan minyak kayu putih aja?"

Perempuan itu mengangguk lalu mengambilkan minyak kayu putih ukuran kecil dari lemari. "Makasih."

Walau gue sudah mengucapkan terima kasih, adek itu tidak beranjak dari tempatnya. Gelagatnya yang mau bicara tapi malu terlihat jelas. "Kakak namanya Sela kan? Yang sekelas sama Kak Atra?"

Atra lagi. Kenapa si? Hari ini semua orang pada bicara Atra, Atra, Atra. Apa bagusnya cowok triplek freak itu? Namun, mau tak mau, gue mengangguk pelan melihat wajah Adek itu berbinar menunggu jawaban. Lepas itu, senyum sumringah terlukis di wajahnya. Adek itu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, "titip ya kak, buat Kak Atra. Makasih ka. Dah."

Adek itu lekas pergi meninggalkan gue yang bengong memegang gulungan kertas yang diikat dengan gelang hitam. Maksudnya apa nih? Hah?

Ponsel gue bergetar. Menghela napas saat membaca chat di grup dan membalas sebentar. Kepala gue cukup pusing karena keadaan perut yang benar benar super tidak enak. Walau upacara sudah selesai sejak setengah jam yang lalu, gue masih bertahan di UKS dengan mata yang terpejam. Mbak penjaga UKS juga sangat baik sehingga memperbolehkan gue tidur-tiduran disini sampai nyerinya berangsur-angsur hilang.

Pintu UKS terbuka, sayangnya gue terlalu mager untuk sekedar membuka mata untuk mengetahui itu Lia atau bukan. Terdengar suara samar-samar tetapi familier di telinga. Tak lama tirai pembatas bilik kasur tempat gue disibak.

"Ayo ke kelas. Mau bolos lo? Sakit gini doang juga." Mata gue auto terbuka, agak kaget memang. Bukannya Lia yang menjemput gue, malahan Atra. "Loh? Tadi gue minta jemputnya kan sama Lia...,"

"Lia ga bisa, kelasnya udah ada guru yang masuk." Gue mengangguk-angguk, merubah posisi dari tidur menjadi duduk. "Angga?"

"Ck. Banyak tanya. Udah cepetan." Ya ampun. Gue baru nanya sekali udah dibilang banyak tanya. Gimana si? Datang-datang udah ngajak kelahi aja. Mana perut bawah gue masih gemes nyerinya.

"Perut gue masih sakit, At. Bentar dulu." Ucap gue lemah, sengaja dibuat seakan-akan tidak berdaya.

"Kalau masih sakit, disini aja dulu De. Gapapa." Ucap Mba penjaga UKS yang baik hati dan tidak sombong lagi perhatian. Bibir keringku mengembangkan senyuman. Atra duduk di kursi samping tempat tidur, melipat tangannya di depan dada. Dengan wajah datarnya yang sama sekali tidak berubah, "Udah minum obat?"

Gue menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa?" Tanya Atra. "Disini obat buat nyeri cuma ada Asam Mefenamat. Lambung gue ga kuat minum obat itu." Jawab gue sambil mengayun-ayunkan kaki yang tidak sampai menapak ke lantai. Gue sendiri gemas ingin bertanya perihal tadi. Tapi, Sela tetaplah Sela kalau yang ada masalah bakal tetep dipendam dan dipikirkan sendiri. Saat melihat wajah Atra selalu muncul tanda tanya yang besar di dalam otak gue. Apa sebenarnya yang mau dilakukan oleh anak ini? Apa yang sebenarnya niat dan rencananya hingga sampai membawa-bawa gue? Apa yang sebenarnya tujuannya? Namun, dipikir begitu saja tentu tidak akan membuahkan hasil. Gue bakal tetap tidak tahu jawabannya jika gue masih berdiam diri seperti ini. Tapi gue rasa, ini bukan saatnya. "Ayo. Balik ke kelas."

"Beneran?" Atra menaikkan satu alis dan menatap gue. Gue mengangguk.

"Oh iya. Nih." Gue memberi gulungan kertas tadi kepada Atra. Atra yang bingung, menatap dalam gue.

"Dari adek kelas PMR yang ngerawat gue tadi. Buat kakak Atra tersayang katanya." Ucap gue sambil meledek. Atra mengerutkan dahinya, lantas memasukkan gulungan itu ke kantong celana. Gue menatap kantong celananya. Jujur, gue penasaran isinya. Apa mungkin isinya pernyataan cinta cringe ala-ala gitu? Hm.

Gue turun dari kasur, sedangkan Atra mengambil tas biru gue lalu beranjak pergi duluan. "Makasih Mba, saya ke kelas dulu."

"Eh Sela. Sini dulu."

"Iya Mbak?"

"Lain kali kalau sakit, pacarnya dibilangin dulu kamu sakitnya apa. Kasian dia tadi kayak khawatir banget gitu."

"Hah?"

"Hah?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Count You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang