Aku mendapatkan kembali kesadaranku keesokan paginya. Rasa nyeri masih menjalar di perutku, meski tak sehebat hari kemarin. Aku dapat melihat dengan jelas Mama tertidur di kursi samping ranjang tempat aku berbaring. Mama masih menggunakan pakaian yang kemarin mama gunakan. Air mataku mengalir begitu saja, mama pasti merasa sangat malu. Saat ini aku sungguh merasa menyesal. Andai saja aku lebih tegas menolak Jevano saat pertama kali, atau setidaknya aku tidak mengulangi kesalahan yang sama aku tidak mungkin berada di posisi ini.
"Kamu udah bangun?" Mama sepertinya terganggu dengan isak tangisku.
"Kenapa nangis? Masih ada yang sakit?" Aku menggeleng dan terus menangis karena tak mampu berkata-kata. "Terus kenapa kamu nangis?" tanya mama lagi dengan nada yang begitu lembut, tidak terdengar nada marah di sana.
"Maafin Alana, Ma," ucapku tanpa berani menatap mama, "Alana nggak bisa jaga diri, Alana udah buat Mama kecewa dan malu!"
Mama mengusap air mata yang membasahi pipiku. "Harusnya Mama yang minta maaf, Mama nggak bisa jaga kamu. Mama terlalu sibuk bekerja sampai lupa jika Mama punya putri yang harus Mama jaga!"
Aku menggeleng cepat, semua ini adalah salahku. Aku yang tidak berbuat tanpa berpikir panjang. "Mama nggak salah, Mama udah jadi ibu terbaik untukku. Alana ...." Aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku aku kembali menangis.
Mama memelukku, membuatku merasa lebih baik. Saat itu seseorang masuk ke dalam ruang rawatku. Jevano dan kedua orang tuanya. Aku bisa melihat bercak biru di beberapa sudut wajahnya, itu pasti bekas dari pukulan ayahnya kemarin. Wajah ayahnya terlihat dingin, sedangkan ibunya terlihat tidak bersahabat. Ya, apa yang aku harapkan? Mereka pasti sedang merasa sangat kecewa dengan apa yang terjadi padaku.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya ayah Jevano tanpa nada yang berarti.
"Sudah lebih baik, Om!" jawabku gugup.
"Bu Dewi, kami bisa bicara?" tanya Ayah Jevano. Ibu mengangguk lalu mereka bertiga keluar dari ruang inapku.
Tinggal aku berdua dengan Jevano. Aku enggan menatapnya, aku teringat pertanyaan terakhir yang Jevano tanyakan kemarin. Pernyataan dia seolah meragukanku dan menuduhku tidur dengan banyak laki-laki dan itu sangat menyakitkan.
"Maaf!" ucapnya tanpa menatapku.
"Untuk?"
"Pertanyaanku kemarin!"
"Harusnya aku yang minta maaf, karena mengacaukan kelulusan kamu yang sempurna. Harusnya kamu sekarang menjadi siswa kebanggaan, bukan siswa yang menghamili pacarnya! Harusnya aku lebih hati-hati biar tidak ketahuan lalu ...."
"Lalu apa? Kamu mau menghilangkan dia diam-diam?" tanyanya memotong kata-kataku.
"Jika itu adalah pilihan terbaik kenapa enggak! Bukannya dengan begitu kamu tetap bisa bebas tanpa terbebani olehku!" jawabku.
Dia mengusap rambutnya kasar, dia terlihat frustrasi. "Lan, se-brengsek itukah aku di mata kamu?" Dia terlihat begitu keras menahan emosinya, aku hanya bisa menunduk dan menangis. Sebenarnya aku bukan orang yang cengeng hanya saja belakangan ini aku merasa lebih mudah menangis.
"Jev, aku hanya realistis, kamu mendapat beasiswa penuh di Harvard jurusan kedokteran seperti yang kamu impian kamu selama ini. Terlebih tanggapan kamu saat aku berbicara padamu sebulan yang lalu tentang kemungkinan aku hamil dan juga pertanyaan kamu kemarin. Aku nggak naif, Jev!" Aku semakin menangis tak terkendali.
Jevano menarikku ke dalam pelukannya. "Maafin aku, Lan, karena membuat kamu berpikir seperti itu. Sungguh aku nggak ada niat buat ingkari semua ini. Jujur aku juga gelisah dan nggak bisa tidur saat kamu bilang kamu kemungkinan hamil, tapi selama sebulan ini kamu nggak bilang apa-apa, aku pikir semuanya baik-baik saja!"

KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex-Husband Wedding (END) ✓
RomanceAlana, seorang wedding organizer, dipertemukan kembali dengan mantan suaminya, Jevano, setelah lima tahun tidak berjumpa ketika Jevano datang sebagai salah satu kliennya. * * * Selama lima tahun ke belakang ini, Alana hidup tenang bersama putra sem...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi