13

4 0 0
                                    

Di lantai berikutnya, aku, Merah, Coklat, dan Kitsune-chan terkejut melihat ruangan apa ini. Ruangannya sangat luas. Ada lampu hias yang menggantung di tengah-tengah ruangan. Dan ada dua buah kursi singgasana di ujung ruangan. Di balik dua kursi singgasana itu berdiri seseorang memunggungi kami.

“Selamat datang, para kesatria cahaya.” Kami terkejut mendengar sambutannya.

“Sebaiknya kau menyerah saja. Kau sudah tamat. Haah...” Merah mengancam sambil menarik busur panahnya. Siap menembak.

Orang di balik singgasana membalikkan badan menghadap kami. Dia memakai pakaian kerajaan yang sederhana, tampak seperti pangeran dari kerajaan dongeng. Di pinggangnya tergantung sebuah sarung pedang dan pedangnya. Semua warna yang ada pada dirinya adalah hitam. Mulai dari rambut, pakaian, dan sepatu. Kecuali, warna mata, pedang, dan sepasang tanduk kecil di dahinya berwarna biru.

“Ano... Menyerahlah baik-baik...”
Sebelum Coklat selesai berbicara, Merah melepaskan panahnya. Panahnya jatuh tepat di depan kaki orang itu. Sebagai balasannya, setelah melihat panah yang hampir mengenai kakinya, dia tersenyum misterius pada kami. Seketika itu aku merasakan aura yang sangat kuat dan perasaan buruk.

Dia menarik pedang biru, yang ada di pinggangnya, dari sarung pedangnya. Udara dingin keluar dari pedang itu. Suhu di ruangan itu menjadi dingin. Dia menancapkan ujung pedangnya ke lantai. Seketika lantai menjadi membeku. Kecepatan membekunya cukup cepat. Merah yang berada paling depan terkena sihir membeku itu.

“Ah...” Kitsune-chan yang ada di sebelahku berteriak terkejut.

Lantainya yang membeku semakin mendekat. Setelah Merah, Coklat terkena sihir membeku. Tak lama lagi, seluruh ruangan ini akan membeku termasuk aku dan Kitsune-chan. Akan tetapi, di luar dugaanku, ternyata aku tidak membeku. Melihat teman-temanku yang diam membeku terkena sihirnya, aku memegang pedangku erat-erat, mengepalkan tangan kiriku, dan mengeraskan rahangku.

“Hikh... Apa yang kau lakukan? Cepat bebaskan teman-temanku!”

“Teman, ya? Apa mereka sangat berharga bagimu?”

“Hikh... Sangat... Sangat berharga. Melebihi apapun!”

Aku pun mengamuk dan menerjang maju. Aku merasa ada kekuatan yang mengalir di dalam tubuhku, sama seperti saat aku berlatih mengeluarkan sayap bersama Pink Muda. Mungkin sekarang mataku juga berubah menjadi merah. Dan mungkin sekarang tidak akan ada yang menghentikanku.

“Hiah...” Aku menebas dari sisi kanan ke kiri tepat mengarah ke lehernya. Akan tetapi, seranganku ditangkis dengan mudah dengan pedang yang sudah ditariknya dari lantai.

“Ciks...”

“Kau lumayan juga.”

“Kau meremehkanku, ya.”

Akhirnya, kami beradu pedang. Seranganku selalu bisa ditahan atau ditangkis olehnya. Sampai aku kehabisan kesabaranku. Aku menyerangnya secara brutal karena marah. Dia terpojok di dinding. Aku sudah mengangkat pedangku, bersiap membunuhnya. Sebelum aku mengayunkannya, tanganku ditahan seseorang.

“Tenanglah, hitam-kun. Serahkan padaku.”

“P-pink Muda...”

Aku melemaskan tanganku, menenangkan diri, menyarungkan pedangku dan membiarkan Pink Muda berbicara dengan orang ini. Warna mataku kembali normal.

“Ayo kita duel. Jika aku menang, lepaskan teman-temanku yang membeku dan menyerahlah. Jika kau menang, kau boleh membunuhku.”

“Aku tidak bisa menerima tawaranmu. Meski kau mengarahkan senjatamu untuk membunuhku, aku tidak akan mengarahkan senjataku untuk membunuhmu.”

Kenangan Tanpa AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang