"Bagaimana bisa aku melahirkan anak sepertimu?"
mati
"Bagaimana bisa aku menyayangi anak sepertimu?"
mati
"Bagaimana bisa aku tetap hidup, dengan melihatmu hidup disekitarku?"
mati
Kata orang, wanita adalah manusia pemilik perasaan paling lembut didunia. Kata orang, Ibu adalah wanita penuh kasih sayang. Namun bagiku, itu hanya perkataan orang lain. Itu semua hanya berlaku untuk mereka yang dicintai oleh wanita yang melahirkan mereka. Tidak untuk diriku, seseorang yang keberadaannya hanya kemalangan. Satu-satunya keburukan yang Tuhan berikan, untuk kehidupan sempurnanya.
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Kau sudah tahu jawabannya, bukan? Apa aku juga harus meneriakkannya untukmu?"
Aku tahu jawabannya, seperti apa yang dikatakannya. Namun aku menyangkal, karena aku masih berharap dia memiliki sisi seperti apa yang semua Ibu diseluruh dunia ini miliki.
Kasih sayang.
Tapi rasanya, harapan itu sia-sia. Ketika nyatanya dia tak memiliki sedikitpun perasaan itu. Dia mungkin wanita, namun dia tak memiliki perasaan lembut itu. Dia mungkin seorang Ibu, namun dia tak memiliki kasih sayang itu.
Atau mungkin, dia memiliki semua itu. Akan tetapi tidak kepada dirinya, tidak kepada anak tak diharapkan seperti dirinya. Anak terlahir dari kejadian mengerikan yang telah melukainya begitu besar. Jika telah begitu, maka dia hanya harus melakukan satu hal itu, bukan?
"Mati, ya?"
Benar, dia harus mati.
Jawaban sempurna, jawaban atas pertanyaan yang seharusnya tak ditanyakannya lagi. Karena itulah tujuan wanita itu menyeretnya kesini, ketempatnya dapat mengakhiri semua penderitaan wanita itu. Tanpa dihalangi satu orangpun.
Sehingga dengan perlahan, namun pasti. Kaki itu melangkah mundur, menapak dengan perlahan tanpa melepaskan sedikitpun tatapannya dari wanita itu. Menatap, nectar coklat yang begitu serupa dengannya. Namun faktanya, wanita itu tak pernah menyukai kenyataan itu.
Saat wanita itu begitu ingin menutup sepasang nectar coklat itu selamanya, sehingga dia tak perlu lagi terbayangi mimpi buruk kembali.
Tap
Sampai sepasang kaki telah sampai pada pijakan terakhir, ambang antara hidup dan matinya. Hanya tinggal satu langkah lagi, maka dia akan memenuhi harapan wanita itu. Untuk melompat, kemudian mati.
Namun sebelum itu, dia ingin meminta sedikit waktu. Untuk menyiapkan diri atas kematian, dan merasakan sedikit saja sebuah kehidupan. Dan mengajukan kembali sebuah pertanyaan, untuk yang terakhir kalinya.
"Eomma.-"
Ekspresi kesal kembali terpasang, pada wajah yang sebelumnya menyunggingkan senyuman atas setiap langkah menuju kematian yang diambilnya. Dia tak bermaksud kembali menghilangkan kebahagiaan wanita itu, tetapi hanya menginginkan sesuatu sebelum itu semua.
"-Aku hanya ingin tetap menyayangimu, walau kau begitu membenciku."
"Berhenti membual."
"Aku tak membual, Eomma. Hanya bisakah Eomma membalikkan tubuh, dan tak melihatnya?-"
Dia ingin wanita itu berbalik, dan tak melihat saat dirinya melompat.
"Kau ingin kabur? Kau ingin mengelabuiku untuk tetap hidup, seperti selama ini?"
"-Bukan begitu. Aku akan mati, aku pasti akan mati untuk Eomma."
-Tapi aku tak akan sanggup mati, dengan melihat senyuman bahagiamu atas kematianku ini.
"Kalau begitu melompatlah, tepat didepan mataku. Agar aku bisa memastikan semuanya."
Ini terlalu kejam. Bahkan permintaan terakhirnya, untuk terjemput kematian tanpa rasa sakit dari wanita itupun tak dikabulkan. Dia hanya ingin mati, dengan menganggap bahwa itu semua atas kemauannya. Atas keinginannya karena merasa tak sanggup lagi hidup didunia ini. Dengan melompat dari atas gedung ini.
Namun tetap saja tak terkabulkan, saat kematiannya itu ingin disaksikannya secara langsung. Untuk dipastikannya, dia benar-benar membunuh dirinya. Dan tak melarikan diri, seperti yang wanita itu takut dia lakukan.
"Selamat tinggal, Eomma."
Sreett
Dan pada akhirnya pemuda itu yang memilih menutup mata, menjemput kematian dalam kegelapan tanpa melihat senyum bahagia wanita itu. Menakutkan, saat tubuhnya mulai tertarik gravitasi. Jatuh dari ketinggian, dengan tubuh melayang namun tak benar-benar melayang. Karena nyatanya, dia akan segera terhempas.
BRUUUKK
"Ukh."
Terhempas, tubuhnya menggelepar dengan rasa sakit menusuk setiap inci bagian. Ini rasa sakit yang terasa begitu mengerikan, saat semua organ ditubuhnya ingin bekerja seperti biasanya. Namun tak ada yang sanggup melakukannya, ketika satu persatu kehilangan kemampuannya. Dia bisa merasakannya, saat ujung kakinya mulai kehilangan rasa. Menjalar dengan perlahan namun pasti, sampai-sampai dia ingin semuanya segera berakhir.
Dia ingin jantungnya segera tak berdetak.
Dia ingin napasnya segera terhenti.
Dia ingin nyawanya segera terenggut.
"Tuhan, aku mohon. Biarkan semua ini berakhir dengan cepat."
"KYUHYUN."
Namun ditengah sekaratnya, dipenghujung hayatnya. Teriakan itu terdengar, namanya dipanggil dengan begitu keras. Tak hanya satu suara, ada beberapa suara berbeda yang terdengar. Dia dapat membedakannya, mengingat suara-suara itu juga yang selama ini mengisi hari-harinya selain suara teriakan menakutkan sang Ibu. Suara-suara yang memberikannya keamanan, kenyamanan dan kasih sayang yang selama ini tak pernah diberikan wanita itu. Alasan yang membuatnya bertahan selama ini, walau dia seringkali ingin menyerah.
"Appa, Hyungdeul, Mianhae. Aku tak bisa memenuhi janjiku."
Tetapi, sekarangpun tanpa menyerah dia harus tetap mengakhiri semuanya. Untuk dia, wanita yang begitu di sayanginya tanpa berbalas. Wanita yang memiliki hak atas kehidupannya, walau tak sekalipun diinginkan. Untuk dia, sang Ibu.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother (Can I Hope?)
FanfictionAmazing Cover by @Sun1396 Mother (Can I Hope?) Main Cast : Cho Kyuhyun, SJ-Member, Family and Others Genre : Family, Brothership, Friendship, Hurt/Comport and Angst Summary : Kata-kata biasa yang kau teriakkan saja, terasa begitu menyakitkan. Apalag...