Delapan Hari Tanpa Gita.

281 76 5
                                    



Siang menjelang sore, berbekal seragam sekolah yang ujung-ujungnya sudah mencuat keluar, suer, niat Iqbal cuma mau beli bakso doang. Dia nggak ada maksud atau keinginan untuk ketemu Tasya. Rasanya canggung aja setelah chat terakhir mereka. Pingin balik tapi nanggung banget baksonya terlanjur diracikin. Ada-ada aja emang dilema.

"Tasya!!" suara riuh seorang perempuan menyapa telinga Iqbal. Membuatnya mendongak sedikit dan menjumpai sosok yang familiar, sedang mendudukkan diri di sebelah Tasya.

"Ya Allah, lama amat. Lewat Mesir ya lo Del?" tanya Tasya, terasa sarkas tapi dikemas dengan cengengesan yang jenaka pada Adel. 

Saya kenalin, cewek itu namanya Adel, teman SMA Tasya. Iqbal sih kenal, ralat, tahu. Sebab dulu waktu naksir Tasya, si Adel ini yang sering ngeceng-cengin.

"Pesen gih Del" kata Tasya kemudian.

"Nggak deh, mau makan sama Satria abis ini" jawab Adel nyengir.

"Doh yang pacaran, bucin amat deh kayak anak abege" 

"Sirik deh lu" pungkas Adel. "Lagian nggak sadar diri, lo juga bucin kan sama Tama" tambah Adel. Namun entah bagaimana, ucapan Adel itu seketika membuat raut Tasya berubah.

"Cerita dong Sya, gimana lo sama Tama? Katanya dia abis dari Jepang ya?" tanya Adel sambil merepet lebih dekat pada Tasya. Rautnya antusias. Sementara dia belum menyadari perubahan mimik yang kini semakin kentara pada wajah Tasya.

"Gue lagi males ngomongin dia" jawab Tasya singkat. Membuat Adel sontak menegakkan tubuh dan mengangkat alis sepersekian detik.

"Gue kelewatan apa nih Sya?" Tasya hanya menggeleng sekilas pada Adel.

"Lo nggak lagi naik kereta Del jadi nggak ketinggalan apa-apaan"

"Ya maksud guee, soal lu sama Tama??" Adel memutar matanya jengah. "Berantem parah ya Sya?"

Tasya hanya diam mendengar pertanyaan Adel itu. Pun Adel juga tidak mau memburu Tasya. Ia lebih memilih menunggu, memberi Tasya waktu untuk menimbang dan menyortir bagian dari ceritanya yang mana yang mau dia bagikan. Maka keduanya sama-sama diam.

"Kita lagi break" kata Tasya singkat. Dia kemudian melihat pada Adel yang juga sedang melihatnya. 

"Break.... putus.. ?" tanya Adel lambat-lambat. 

Tasya menggeleng. " Nggak putus, cuma break aja. Nggak lagi deketan dan hubungi dulu"

Seketika Adel mengerutkan kening. Hubungan macam apa yang fasenya tidak jelas begitu, pikirnya. Selain itu, setahu Adel, Tasya itu suka banget sama Tama. Bisa dibilang kalau Tasya duluan yang naksir Tama dan berusaha untuk 'dilihat'. Seorang Tasya yang Adel kenal paling mencintai kamarnya dan nggak suka berinteraksi dengan alam bahkan sekedar jalan-jalan, dengan suka rela mendaftar program live in di pesisir Pangandaran hingga sok-sokan ikut my trip my adventure ala-ala hanya karena Tama suka yang begituan. Segigih itu Tasya ke Tama. Lalu kenapa sekarang Tasya seperti menyerah pada Tama, dan menempatkan hubungan yang susah payah ia wujudkan ke dalam status yang lebih tidak jelas dari HTS?

"Kenapa?" maka hanya kata tanya itu yang keluar, merangkum semua ketidakmengertian Adel pada Tasya yang sekarang.

"Lo tau nggak sih Del fase apa dalam suatu hubungan yang bisa meyakinkan lo kalau lo sama dia itu mutual?" jawab Tasya yang justru berwujud pertanyaan baru. Sama sekali nggak mengurangi kerutan di dahi Adel.

"Ck, jangan berbelit-belit deh" decak Adel.

"Fase jauhan" jawab Tasya sambil lalu.

"Ketika lo jauhan sama dia, yang beneran jauhan, lo akan wondering dan pondering. Akhirnya lo akan punya banyak prasangka yang bikin lo insecure. Yang bahkan video call atau kata-kata seperti how's life sampai aku kangen kamu, nggak bisa comfort lo lagi"

"Waktu Tama ke Jepang, antisipasi pertama gue adalah komunikasi. Gue terbiasa sama Tama dan mau terus kayak gitu. Jadi gue mikir gimana ngatur waktu video call, chatting, yang nggak tabrakan sama zona waktu kita. Gimana gue selalu bisa keep in touch sama dia dan up date apapun soal dia."

"Sampe suatu ketika, kita marahan. Gue sebel karena Tama selalu sibuk sama tugasnya dan kesannya selalu gue yang berusaha. Dan Tama yang marah karena gue yang over dan selalu ngomongin hal yang sama berulang-ulang. Basi katanya"

"Terus kita nggak ngomong sampe Tama hubungi gue dan bilang mau pulang. Lo tau nggak sih Del hal pertama apa yang gue lakuin waktu Tama beneran pulang?"

"Apa?" tanya Adel, hanya sekedar melegakan Tasya atas pertanyaannya. Padahal pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu jawaban.

"Nothing. Kita nggak lakuin apa-apa. Gue seneng Tama pulang, but just it. Kayak ada yang kosong diantara kita" jawab Tasya, ikutan terasa kosong dalam kata-katanya.

"Dan kayaknya Tama ngerasain hal yang sama. Kita bukannya nggak cocok atau lagi dalam masa-masa marahan kayak abege. Kita cuma kayak, aku tuh apa buat kamu dan kamu tuh apa buat aku? Kayak kita sama-sama egois"

"Dan akhirnya kalian break?" tanya Adel retoris, namun dijawab juga anggukan oleh Tasya.

"Dan karena itu juga lo pulang kesini?" tanya Adel yang lagi-lagi retoris. Kemudian tidak ada jawaban dari Tasya. Hanya helaan nafas panjang dari Adel yang terdengar.

"Gue tau hubungan antara dua orang itu nggak melulu mulus. Gue sama Satria juga gitu. Cuma gue nggak tau kalo lo sama Tama bisa seribet itu urusannya" kata Adel kemudian. Hanya sekedar bicara menyampaikan uneg-uneg hatinya. Setelahnya, Adel melirik pada Tasya yang masih diam saja. 

"Terus gimana Sya?" tanya Adel, takut-takut. 

Tasya hanya mengedikkan bahu menjawabnya. Ia menunduk dalam hingga tiba-tiba menelungkupkan kepala dalam lipatan tangannya. Disusul punggungnya yang bergerak ritmis dan isakan yang terdengar samar-samar. Membuat Adel kontan merangsek pada Tasya dan merengkuh tubuh Tasya dalam rangkulannya. 

"Sya..." panggil Adel lembut seraya menepuk-nepuk punggung Tasya. "Di tempat umum nih, jangan nangis disini" 

"Gue sayang Tama tapi gue kayak terus insecure nggak penting...." kata Tasya dengan isakan yang terputus-putus. "Sebel gue jadi cengeng gini" 

"Ya udah jangan nangis kalo gitu. Gue yakin Tama juga sayang sama lo, Sya" kata Adel masih menepuk-nepuk punggung Tasya. 

Sementara itu, Iqbal yang tadinya beneran cuma niat beli bakso doang, pun terdiam mendengar cerita Tasya itu. Iqbal masih mencerna semua ucapan Tasya namun justru sedih melihat Tasya menangis begitu. 

Ternyata semakin nambah umur, hubungan itu nggak sesederhana putus dan balikan.

Ternyata semakin nambah umur, hubungan itu nggak sesederhana putus dan balikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sampai dititik ini, aku merasa sangat-sangat berterimakasih buat kalian yang udah mau baca bahkan komen bahkan vote juga.

Tahu gak sih kalo hal itu bisa bikin kalian masuk surga karena dapet pahal membahagiakan orang lain, huhu

aku mah tanpa kalian apa..... THANK YOU SO MUUUUUUUUUUUUUUUCCCHHHHHH

Iqbal, 10 Hari Tanpa Gita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang