"Apakah ini jalan yang betul?"

26 0 0
                                    

Selasa, 23 Juli 2019 (23.50)

     Kami telah sampai. Kami berdiri di depan rusun yang telah dianggap sebagai markas besar Genji. Suasana markas pada malam ini, yang seharusnya sunyi, tidak seperti malam yang lainnya. Kami bisa mendengar suara orang berteriak ria dan lagu- lagu pesta. Mungkin ini karena keberadaan Sang Raja di markas.

     “Wita, pegang tanganku. Kalau ada yang deketin ko, jangan dilihat. Ngerti?” tanya aku dengan penuh perhatian. Dia juga membalas dengan kata iya dan memegang tangan kiriku.

     Kami berjalan masuk ke markas. Orang- orang melihat kami dengan tatapan sangar. Walau gitu, Wita tidak kelihatan takut atau gelisah.

     Akhirnya, kami telah sampai didepan pintu kantor Sang Raja. Wita melihatku dan mengingatkan bahwa ini kesempatan kami untuk menangkap Sang Raja. Aku masih merasa ragu- ragu dengan rencana Wita. Aku bukan takut, tetapi khawatir dengan Wita. Aku tidak ingin Wita terluka.

     “Wita, berikan telepon genggam kamu.” perintah aku. Wita pun menyerahkan telepon genggam dia. Aku mengambilnya dan mulai mengetik.

     “Wita, ini nomor telepon kantor polisi terdekat. Saat situasinya menjadi buruk, tekan tombol panggil. Mengerti?” kata aku dengan memegang kedua pundak Wita.
     “Rupanya kamu lumayan pintar juga” senyum Wita. “Aldo, aku yakin kamu adalah orang yang berbakat dan dapat mengatur hidupmu”.

     Aku pun juga tersenyum dan mulai memeluk Wita. Kedua tangan Wita juga memegang erat pergelangan perutku.

     "Terima kasih, Wit. Atas semuanya" kata aku dengan suara lembut.

     Setelah itu, aku membuka pintu kantor Sang Raja. Saat kubuka, terlihat ruangan yang mewah. Pada ujung belakang ruangan itu, ada jendela yang lebar dan kursi roda yang membelakangi kami.

     “Akhirnya kamu datang Aldo. Aku sudah menunggu lama atas kehadiranmu” terdengar suara berat dari kursi roda tersebut.

     Roda kursi itu berputar menghadap kami dengan dramatis. “Dan kamu juga mengajak Wita kesini. Sungguh, sebuah hari yang menguntungkan.”

     Saat Sang Raja menampakkan muka dia, pikiranku berhenti sejenak. Identitas Sang Raja adalah Bapak Harris Bastian, Bapak yang memotivasi para pelajar untuk belajar serius.

     Sungguh, aku tidak menduga beliau adalah dalang dari seluruh geng Genji.

     “Selamat malam, ayah” kata Wita dengan nada kalem. Mukaku langsung menoleh ke Wita. Malam ini sangat penuh dengan kejutan. 

     “Dia ayahmu?” tanya aku ke Wita. Dia pun membalas tanpa menatapku “Itulah mengapa aku mengetahui banyak hal mengenai Genji.”

     “Hahahaha. Kenapa mukamu terlihat marah? Sudah lama ayah tidak melihatmu secara langsung” kata Pak Harris dengan canda.
     “Aldo, Wita, silahkan duduk!” perintah beliau sambil menunjukkan sofa hitam di ruangan itu.
“Kami tidak akan lama di sini. Jadi, ke intinya saja” kata Wita dengan nada dingin. Suasana di ruangan itu sangat tegang.

     Mulutku tidak bisa mengeluarkan kata- kata, merasa segan mengganggu percakapan Wita dan Pak Harris.

     “Ooh iya. Besok kalian sekolah. Kalau begitu, ayah akan mempercepat urusan ayah dengan Aldo”. Pak Harris mulai memindah tatapannya kepada aku.
     “Sebentar lagi, kamu akan menginjak umur ke- 17, bukan? Dalam beberapa menit lagi, kamu akan dianggap menjadi anggota resmi Genji dan mulai bertanggung jawab mengatur keluarga kita. Tetapi sebelum itu, kamu tahu kan apa yang harus dilakukan?”

      Aku pun membalas “Ujian Kepercayaan, pak.”. Beliau lanjut bertanya
     “Apakah kamu sudah siap untuk mengerjakannya?”.

     Aku hanya mengangguk. Pak Harris menyeringai dan menyerahkan aku sebuah koper hitam. 

      “Bapak sangat kecewa kamu gagal memberi kami mobil, Do. Padahal, mobil itu dapat memberi banyak keuntungan untuk kita. Tetapi, bapak ingin memberi kesempatan kedua. Buka koper ini.”

     Seketika aku ingin membuka koper, Wita mulai memasuki tangannya ke kantong celana dia. Karena itu, suasana disini menjadi lebih tegang lagi. Saat aku membukanya, ada sebuah pistol didalam koper tersebut. Aku terkejut lagi dan menanyakan ujian ku kepada Pak Harris.

      “Mantan pacar Wita, Ardian, tertangkap basah diam- diam mengkonsumsi ekstasi yang seharusnya dijual untuk orang lain. Dia hampir menghabiskan setengah kilo dan ini mengakibatkan kerugian besar terhadap Genji."
"Agar hal ini tidak terjadi lagi, tugas kamu adalah menghukum Ardian untuk membuat sadar bahwa kegiatan perdagangan Genji tidak bisa diremehkan. Mengerti mengapa bapak memberi ini?”

     Tiba- tiba pikiranku mulai tidak fokus. Merasa aku harus melakukannya tetapi juga merasa untuk tidak melakukannya. Wita mulai membujuk aku untuk tidak mengambil pistol tersebut dengan alasan bahwa melukai seseorang hanya memperparah situasi.

     “Oh, Wita. Ayah harap kamu bisa diam sejenak. Apakah kamu yakin hanya membiarkan Ardian menghabiskan semua produk kita yang seharusnya dijual untuk dana kamu dan ibu?” kata Pak Harris.

     Aku melihat Wita mulai menggenggam tangan kirinya dan muka dia mulai bermerah. “Dasar ayah tidak becus. Menggunakan uang haram untuk kepentingan diri sendiri bukan hal yang baik!” bentak Wita.

     “Kepentingan diri sendiri? Wita, semua ini bukan untuk ayah. Tetapi, semua usaha ini adalah karena ayah sayang dengan kalian. Ayah merelakan waktu, tenaga, dan pikiran.Dengan ini, kamu dan Ibu bisa hidup dalam kehidupan yang senang dan tenteram.”
     “Senang? Tenteram? Ayah tidak lihat situasi keluarga kita gimana? Ibu sedang sakit- sakit dan ayah saja sudah lama tidak ketemu dengan dia sejak aku umur 2 tahun. Apakah ini yang dimaksud dengan sayang?” marah Wita dengan mata berair.

     Pak Harris mulai berdiri dari kursi rodanya dan mulai mendekati Wita. “Itulah putriku tercinta. Ayah bekerja keras sehingga waktu dengan kalian sangat terbatas. Kamu harus mengerti” kata Pak Harris dengan suara lembut.

      Emosi Wita sudah tidak bisa dikontrol. Dia mulai bernangis dan berteriak “Kalau mau bekerja keras, cari kerja yang betul! Sekarang yang dari aku lihat, aku hanya melihat pecundang yang lemah!”

Ekspresi Pak Harris mulai berubah yang awalnya tenang menjadi marah. “Dasar, anak durhaka! Jaga mulutmu!” bentak Pak Harris. Pak Aris mulai menarik Wita dan mengangkat tangan kanannya yang bersiap untuk menampar muka Wita. Telepon genggam Wita pun jatuh sari kantong celana dia.

"Heh. Dasar bajingan. Rupanya kamu memang adalah anak yang durhaka." bentak pak Harris sambil mulai mengangkat tangan kanan dia. Siap untuk menampar Wita.

Saat melihat itu, insting aku untuk melindung Wita muncul. Tubuhku mulai panas dan aku bergerak dengan cepat.

     Saat itulah, aku langsung memegang tangan kanan Pak Harris. Tanpa berpikir lama, aku memukul kepala Bapak Harris sekeras mungkin.

     Pak Harris langsung tertidur di bawah lantai sedangkan tanganku dilumuri dengan darah.

     Wita terdiam dan tidak berkata- kata. Aku langsung menarik tangan Wita dan berlari keluar dari markas Genji.

Warna HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang