Bag. 2

8.8K 292 17
                                    


Bau dupa menyambut penciuman siapa pun yang masuk ke rumah bercat kuning itu. Aura yang sukses membuat orang merinding. Cat rumahnya boleh-boleh saja berwarna cerah. Namun, tidak dapat dipungkiri, perasaan takut menjalar kala memasuki bangunan di ujung kampung itu.

Terdapat kesibukan layaknya rumah-rumah lain, sore itu. Seorang lelaki dengan kulit hitam legam,  mengenakan celana selutut, kumisnya yang dibiarkan tebal dan melintang, tampak asyik menekuri setiap helaian bulu ayam cemani yang diapitnya. Ia duduk di teras depan rumah bercat kuning itu. Sementara di sampingnya, kopi yang masih mengepulkan uap panas bersanding dengan pisang goreng, menggugah selera.

Sesekali, bibirnya tampak menyunggingkan senyum. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi aura angker dari wajahnya. Matanya menatap lurus ke depan. Lalu ia terkekeh.

"Bu! Bu! Cepat ke mari!" teriaknya.

Seorang wanita tergopoh-gopoh datang dari dalam rumah menghampirinya.

"Ada apa, toh, Pak?"

"Siapkan seperti biasa. Aku mau pergi nanti malam."

Sang wanita mengerutkan kening sebentar, lalu bertanya, "Mau ngadain ritual lagi?"

Lelaki kumis tebal itu menatapnya jengkel. "Ndak usah kebanyakan tanya kamu. Disuruh gini, yo lakuin. Cerewet tenan!" sungutnya.

Sang istri mengangguk takut-takut. Kemarahan suaminya bukan hal baru baginya. Lelaki yang telah menemaninya selama lebih dari 30 tahun ini, memang kerap kali naik darah hanya untuk sesuatu yang remeh.

"Baik, Pak. Nanti aku siapkan. Air mawar juga?"

"Sudah pasti. Itu jangan sampai lupa!"

Tak lama kemudian, si wanita melenggang pergi meninggalkan sang suami yang masih asyik mengelus ayamnya. Rintik hujan yang semakin menderas, membuatnya mendesah. Memang hari baru saja beranjak sore. Akan tetapi, baginya, waktu terasa berjalan lebih lambat.

Samar-samar, di tengah kucuran air hujan, terlihat sesosok manusia berjalan dengan payung di tangannya. Lelaki kumis tebal melintang itu menyipitkan mata, mana kala orang tadi membuka pagar bambunya lalu memasuki halaman rumah, dan berhenti di depannya.

"Sore, Mbah," sapanya.

Lelaki berkumis tebal itu hanya berdeham sebentar. "Ada perlu apa datang ke sini?"

Lelaki paruh baya bertubuh kurus dengan baju setengah basah itu tersenyum sumringah. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengangsurkan beberapa lembar uang berwarna merah.

"Terima kasih, Mbah. Berkat nomor yang Mbah beri semalam, saya menang. Ini sebagai rasa syukur saya. Moga-moga Mbah mau ngasih nomor lagi untuk saya."

Lelaki kumis tebal itu terkekeh seraya menerima uang itu. "Urusan gampang. Besok malam datanglah lagi."

*****

Bagi masyarakat dengan kepercayaan pada mitos yang masih mengakar kuat, sah-sah saja dirasa saat mendatangi seseorang yang dianggap memiliki kemampuan gaib. Apa yang diminta, apa yang diperintah, apa yang dianjurkan, akan dituruti dengan mutlak tanpa membantah. Mereka menghormati orang itu dengan penghormatan yang cenderung berlebihan. Saat akan menyunatkan anak, ketika akan menikah, sewaktu membangun rumah, semua hal-hal di atas tak luput dari 'berkonsultasi' dengan orang yang dipanggil Mbah itu.

Pun, tak sedikit yang justru memanfaatkannya untuk hal lain. Semisal meminta nomor togel, ilmu penglaris, jimat pemikat, pesugihan, dan masih banyak lagi. Dalam hati, mereka mungkin mengakui hal tersebut salah. Namun, suara batin mereka tertutup oleh hawa nafsu dan bisikan setan.

Maka, seperti jamur yang tumbuh di musim penghujan, penikmat ilmu gaib itu pun terus bermunculan. Baik yang sudah profesional, maupun yang masih amatiran. Beberapa yang menekuni, tak jarang justru berbalik gila karena mentalnya belum kuat.

SantetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang