Bag. 4

6.2K 295 37
                                    

"Kurang ajar!"

Umpatan lelaki berkulit hitam legam itu membuat seisi rumah terhenyak lalu terdiam. Kepala-kepala yang semula tegak menatap, kini menunduk takut-takut. Tidak ada yang berani bersuara. Semua mulut yang berada di tempat itu seperti memutuskan akan menutup rapat-rapat.

Terdengar helaan napas yang menderu-deru. Dada terbalut pakaian berwarna hitam itu tampak turun naik. Matanya nyalang menatap orang-orang yang berada di depannya, lalu terpaku pada pemuda yang duduk menyandar lemas pada sandaran kursi. Anaknya.

"Kamu jangan khawatir, Danu. Bapak gak akan biarin ini terjadi. Kita dihina. Perempuan itu akan merasakan akibatnya!"

Seorang lelaki yang duduk di samping Ibu Danu, menegakkan kepala, memandang lelaki yang tengah buas dilahap api kemarahan itu. Lalu bersuara, lebih tepatnya mencicit. Bagai tikus tercekik.

"Anu ... Mbah. Kalau Mbah berkenan, biar saya yang menakut-nakuti keluarga gadis itu. Biar kapok."

Lelaki berwajah garang itu menoleh, menatapnya dengan pandangan tajam mengunus, membuat nyalinya menciut seketika.

"Ndak perlu. Biar aku yang ngasih pelajaran nanti. Biar dia tahu, siapa itu Mbah Pujiono."

Suara kekehan tak kalah menyeramkan terdengar menggantikan gelegak amarah yang membahana sedari tadi. Meski begitu, semua kepala di ruang tamu itu masih tak berani tegak menantang.

****

Seperti kayu bakar kering yang disiram bensin, tinggal menyulut sepercik api saja untuk membakarnya. Kobaran api itu akan membakar dan sulit dipadamkan. Mungkin seperti itulah yang dirasakan Mbah Puji saat ini. Sudah lama ia merasa muak dengan sosok lelaki itu, kini seperti menemukan momentumnya, bara kebencian di dada semakin berkobar.

Selama ini, ia hanya merasa kebencian itu tak beralasan, perasaan khawatir pelanggannya yang semakin berkurang. Setelah ia menyelidiki, rupanya, akibat pengaruh orang baru di desa tetangga. Memang di kampungnya sendiri, ia masih disegani, tetapi tak menutup kemungkinan, lambat laun ia akan ditinggalkan.

Kini, perasaan dengki itu semakin berlipat-lipat. Ingin rasanya ia melumat habis-habisan orang itu, lalu membuangnya ke tong sampah. Geram.

Mbah Puji menggertakkan gigi. Kumis tebalnya bergerak-gerak. Mulutnya berkomat-kamit. Kopi panas mengepul di depannya, untuk kali ini tak lagi menarik perhatiannya.

"Danu! Danu!" Dipanggilnya putra semata wayang.

Lima menit kemudian, barulah Danu menghampiri sang ayah dengan raut muka malas-malasan. Penampilan rapi jalinya hanya bertahan beberapa hari, ia kembali ke kebiasaan lama, awut-awutan bagai baru keluar dari hutan.

"Ada apa, Pak?" Danu mengempaskan diri di sofa butut ruang tamu, tempatnya biasa terlelap selain kamar.

"Nanti malam kamu ikut Bapak." Mbah Puji menumbuk iris Danu dengan sirat tekad membara.

Danu merespon dengan mengangkat alis. "Ke mana?"

"Ikut sajalah. Mungkin dia nolak kamu karena kurang duit. Besok coba kamu bujuk lagi. Barangkali dia tergiur trus terima kamu."

Danu mendesah. Sang ayah masih belum mengerti juga. Padahal, ia menjelaskan dengan terperinci sedari tadi, alasan si wanita pujaan menolaknya mentah-mentah.

"Pak, dia nolak Danu bukan karena kurang duit. Dia jatuh cinta sama pemuda lain. Gitu. Dan keluarganya pun manut aja apa kata dia." Danu menjelaskan sekali lagi dengan nada lelah.

Mbah Puji merenung. Sesaat kemudian, tatapannya memicing. Rokok klobot yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya, diisapnya perlahan-lahan. Asap putih membumbung tinggi ke udara.

SantetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang