Hujan deras mengguyur sejak dini hari. Mata gadis di usia dua puluhan itu mengerjap beberapa kali, memandangi tetesan air yang jatuh menimpa pagar kecil, pembatas terasnya. Mendung di langit menggelapkan pagi yang seharusnya sudah terang benderang.Ada mendung lain, di mata gadis yang duduk di kursi ruang tamu itu.
Tatapannya beralih dari jendela, menyapu tangannya sendiri. Ulfi meringis, saat tanpa sengaja ujung lengan baju menyentuh kulit. Matanya berkabut.
Ia ingin menangis keras. Ia ingin merutuk, tetapi tak bisa. Bukan karena akan dimarahi sang ayah. Melainkan, satu puing kesabarannya menolak untuk menyerah.
Kulit lengannya yang tak putih mulus, tetapi tak juga berwarna sawo matang, kini tak tampak normal seperti biasa. Hampir setiap inci mulai dari pergelangan tangan hingga siku, bermunculan bentol-bentol dengan gelembung air, yang semakin lama, terlihat makin melepuh.
Perih, panas, dan juga gatal. Ulfi tersiksa apalagi bila malam tiba. Rasa nyeri yang menjalari tubuh, membuatnya terisak kesakitan.
Sudah hampir sebulan berlalu. Ayah dan ibunya tak lelah mengobatkan ke mana-mana. Mulai dari pengobatan umum, tradisional, hingga dokter spesialis kulit.
Semua jawaban sama. Alergi makanan.
Alergi apa? Selama ini keluarga mereka jarang mengonsumsi makanan yang biasa memicu alergi. Katakanlah udang atau ayam. Kedua jenis lauk pauk itu sangat jarang menghiasi meja makan mereka. Tahu dan tempe dengan cobek kecil berisi cabe rawit yang diulek halus dengan garam, menu paling familiar yang mengisi perut.
Ulfi sebenarnya sudah lelah. Namun, melihat kegigihan ayah mencari pengobatan untuknya, mau tak mau, membuat ia malu pada diri sendiri.
Penyakit apa yang sesungguhnya ia derita?
*****
"Ya Allah ...." Hanya itu yang keluar dari mulut perempuan muda itu tatkala menatap bayangan dalam cermin.
Kaca di kamarnya itu adalah benda terakhir yang akan ia kunjungi. Bagaimana tidak? Dalam pantulan wajahnya, Ulfi mendapati paras buruk rupa seorang gadis.
Wajahnya yang tak luput dari bintik-bintik besar menyakitkan.
Ulfi membalikkan badan, lalu mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Kulit mukanya terasa terbakar. Panas, dan juga gatal. Pipinya seperti menebal beberapa senti. Ia hampir tak mengenali bayangannya sendiri.
Segala yang tampak di cermin, mematahkan senyumnya sekali lagi.
Anak gadis mana yang tak sedih, melihat dirinya sendiri dalam kondisi paling buruk, yang tak pernah terlintas dalam benaknya?
Penyakit aneh itu, semakin mengganas. Disebut aneh, karena bentol-bentol menyakitkan itu hanya muncul di anggota wudunya. Tangan hingga siku, wajah sampai dagu. Juga kaki, sebatas mata kaki.
Bagian tubuh yang lain baik-baik saja. Bersih, tak tercemar.
Ulfi menatap sekali lagi, tangannya. Kelopak matanya bergerak-gerak. Lalu rintik gerimis mulai merembesi pipi.
Hal paling menyakitkan dari penyakit ini, adalah pandangan orang lain terhadap dirinya.
Ayah dan ibu memang tak melarangnya keluar rumah dalam kondisi semacam ini. Hanya saja, Ulfi tahu diri. Cukuplah anak tetangga beberapa waktu lalu, yang melotot padanya, saat ia menyapu teras rumah.
Seakan ia makhluk asing yang menetap di bumi.
Semenjak itu, bisa dihitung tak lebih dari jemari satu tangan, ia keluar rumah. Itupun hanya sebentar. Ulfi tak mau orang-orang semakin gencar membicarakannya.
Meski begitu, bukannya ia tidak tahu. Di luar sana, gunjingan tentang dirinya pasti sudah menyebar luas. Bagaikan virus yang menyerang, merata ke mana-mana. Orang sama membicarakan, seakan paling paham kondisinya saat ini. Berita dari mulut ke mulut, dengan tambahan bumbu yang pas versi mereka.
Ulfi menghela napas.
*****
"Kamu kenapa?"
Ulfi berhenti melangkah. Tangannya urung menyibak gorden ruang tamu, terpaku berdiri di samping pintu.
Ada insting yang menyuruhnya berhenti. Sayup-sayup suara tangisan ibunya terdengar. Hati Ulfi terasa diremas.
"Ibu dan mbakyu, Yah. Kenapa tega sekali mereka mengatakan itu padaku." Lalu isak tangis lagi.
Sambil menajamkan telinga, Ulfi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Entah, ia sangat yakin, penyebab tangisan sang ibu, berkaitan erat dengan dirinya.
"Ceritakan, ada apa ini? Kamu datang-datang, matamu sembab. Ada apa dengan ibu dan mbakyu?"
Bunyi napas menderu. Ibunya seperti berusaha menenangkan diri sendiri, sebelum bercerita. Ulfi makin gelisah. Tanpa sadar, jemarinya meremas kain gorden.
"Mereka bilang, entah dari mana mereka dengar kabar itu. Ulfi kena tuah dari ilmu hitammu, Yah."
"Astaghfirullah!"
Bersamaan dengan istighfar yang terucap dari mulut sang ayah, Ulfi membelalakkan mata. Kedua bibirnya bergetar. Dadanya mulai sesak.
"Ilmu hitam apa, Bu? Sejak kapan aku punya ilmu-ilmu seperti itu? Tidak pernah. Sirik itu namanya. Penyakit Ulfi murni dari Allah. Itu ujian bagi kita semua."
Suara tangisan ibunya kembali terdengar. Mata Ulfi terpejam. Ada nyeri merambati sudut hatinya, bergerak ke atas, mencekik tenggorokan. Napas gadis itu memburu.
"Aku sakit hati, Yah. Aku marah, tapi aku diam saja. Bisa-bisanya mereka menuduh begitu. Ya Allah! Dosa apa ini, kenapa ujian ini berat sekali."
Ulfi mulai tergugu. Kedua tangannya yang terlihat membengkak, membekap mulutnya sendiri. Mencegah tangisan keluar dari sana.
"Sudah, sudah, Bu. Kamu tidak usah dendam sama ibu dan mbakyu. Mereka tidak tahu, itu saja. Kita diam saja. Tidak usah berkata macam-macam." Suara lembut ayahnya, menenangkan sang ibu.
"Masalahnya, mereka dengar itu dari orang, Yah. Berita busuk itu tersebar luas. Bahwa ayah selama ini punya ilmu hitam, dan berbalik pada Ulfi. Ibu dan mbakyu sepertinya terhasut. Ibu bahkan ...." Perkataan ibunya terhenti.
Ulfi masih setia di balik kelambu, terisak tanpa suara.
"Apa?"
"Ibu memintaku pisah."
Sampai di situ, Ulfi menyingkir pergi. Ia sudah tak kuat lagi melanjutkan mencuri dengar pembicaraan kedua orang tuanya.
Bagaimana bila hal terburuk itu terjadi? Bagaimana jika ujian ini belum cukup sampai di sini?
Ulfi tidak bisa membayangkan. Di bawah bantal, ia menangis sejadi-jadinya. Meluapkan semua kemarahan, putus asa, hingga kecewa yang dirasakannya.
Duh, Gusti. Cobaan apa lagi, ini?
*****
Yeeey, akhirnya bisa dilanjut juga. 😅 😅
Maaf kalau kurang panjang dan lama banget. Ada beberapa kendala untuk meneruskan cerbung ini.
Semoga masih ada yang setia. 😅😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Santet
Terror(Based on true story) Ada orang yang rela menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Ada orang yang menempuh jalan pintas demi hawa nafsunya. Nurani pun terkalahkan. Namun, mereka lupa. Bahwa siapa yang menanam makar, dialah yang menuai akib...